Surabaya - Jelang
Konferensi Pimpinan Wilayah (Konpiiwil) se-Indonesia, yang akan digelar
akhir bulan Desember 2015 ini, Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar
Muhammadiyah (IPM), selenggarakan Seminar Nasional di Gedung Dakwah
Muhammadiyah Jawa Timur. Seminar ini mengankat tema “Politik Pendidikan
di Era Jokowi”. Ahad, (6/12).
Menurut Azaki Khoirudin (Sekretaris
Jenderal Pimpinan Pusat IPM), Seminar ini bertujuan mengevaluasi 1 tahun
kinerja pemerintah periode presiden Joko Widodo. Sebagai gerakan yang
fokus di dunia pelajar IPM memandang penting untuk berbicara tentang
pendidikan.
Lebih-lebih pada saat kampanye, Jokowi telah menjadikan Revolusi Mental
sebagai alat untuk menarik simpati rakyat. Jika Jokowi serius dengan
slogan Revolusi Mental, maka sudah seharusnya program-program Jokowi
harus banyak diperioritaskan pada pendidikan. “Pelajar sering menjadi
korban kebijakan, ganti menteri, ganti kebijakan” tuturnya. Keadaan ini
tak boleh dibiarkan,”tambah Azaki.
Seminar ini dibuka oleh Dr. Syamsuddin, M.Ag (Wakil Ketua Muhammadiyah
Jawa Timur). Dalam sambutannya, ia berpesan kepada IPM sebagai generasi
terdidik untuk bersikap kritis terhadap realitas sosial. Sebagai umat
wasathan (tengahan) yang mampu menjadi penengah dan tampil sebagi
generasi yang mampu menjawab tantangan umat, bangsa dan dunia, termasuk
dunia pendidikan.
Prof. Dr. Zainuddin Maliki, M.Si (Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur) selaku pembicara pertama memulai dengan ilustrasi bahwa “Kemakmuran
suatu bangsa tidak bergantung pada luasnya wilayah yang dimiliki bangsa
tersebut, juga bukan pada kesuburan tanahnya. Kemakmuran suatu bangsa terletak pada jumlah pikiran yang terdidik dan moral yang tinggi. Suatu bangsa yg jumlah penduduknya kecil ... bisa saja memiliki kemakmuran ygjauh lebih besar, serta memiliki kekuatan fisik dan moral yg lebih besar daripada bangsa besar jumlah penduduknya”.
Kegagalan pendidikansaat ini menurut Zainddin Maliki, diakibatkan
beberapa hal seperti: moral dan mentalitas lemah, disiplin hilang,
kecerdasan interpersonal lemah, disfunctional literacy karena gagal
memberi 'pengetahuan realitas', Illiterate, dan standart score test
rendah. Baginya pendidikan yang baik, bukan bergantung pada kurikulum,
tetapi dari pendidikan yang berangkat dari minat dan bakat siswa. Hingga
ini Kemendikbud belum tuntas mengurus kurikulum. Pertanyaannya apakah
Muhammadiyah tidak berani keluar dari kurikulum pemerintah? “Saya tidak
percaya dengan Revolusi Mental, Kalau evolusi mental baru ada, bagi
saya mengubah mental itu susah, lebih mudah mengubah fisik” tegasnya.
Zainuddin Maliki menawarkan beberapa solusi: pertama Membangun
Masyarakat Pembelajar dengan memperbanyak toko buku dan perpustakaan.
Kedua, mengembangkan pendidikan yang mendidik. Bukan sebaliknya
pendidikan yang tidak mendididik.. Ketiga Transformasikan Survival
Skillmenghadapi Abad 21/Era Globalisasi dengankurikulum progressive.
Keempat, transfomasi Pendidikan Autentik, yaitu menajarkan apa yang ada
dalam kehidupan (bukan hanya yang ada dalam kurikulum dan
buku).Pendidikan Otentik dengan Pendidikan yang seolah-olah, dimana
gurunya mengajar seolah-olah. Muridnya belajar seolah-olah. Jadi
insinyur pun yang seolah-olah.
Di sisi lain, sebenarnya program dan kinerja Jokowi mengamali paradok.
Hal ini disampaikan oleh pembicara kedua Moh. Mudzakkir (Sosoiolog
Pendidikan, yang juga Dosen Universitas Negeri Surabaya). Pada saat
kampanye Jokowi memiliki Program Populis, yaitu Kartu Indonesia Pintar
(KIP) sebagai daya tarik politik kelas menengah ke bawah. Terdapat
paradok di sini. Jika dulu SMK menjadikan Jokowi terkenal. Malah kini
ada dalam visi misi Jokowi tidak ada untuk program SMK. Padahal SMK
adalah kebutuhan riil untuk anak yang tidak bisa kuliah.
Selama ini “Pendidikan hanya sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.
Jangan heran jika ganti menteri, ganti kebijakan” tandas Moh.
Mudzakkir. Pelajar dan dunia pendidikan selalu menjadi korban kebijakan
yang salah. Misalnya problem karakter saat ini adalah terletak pada elit
bangsa, politisi, akan tetapi malah pendidikan yang tidak salah menjadi
obyek sasaran. Apartur negara yang tidak disiplin, malah rakyat yang
disiplinkan. Pemimpin bangsa ini yang korupsi. Pelajar yang tidak
bersalah menjadi korban kurikulum karanter dan pendidikan antikorupsi.
Seharusnya yang dibereskan adalah elite negeri ini, bukan pelajar yang
tak bersalah.
IPM Tentuharus menggalakkan danmeningkatkan tradisi membaca, pengadaan
perpustakaan. Kalau komunis merebut alat-alat reproduksi. Maka IPM
dengan paradigma kritisnya merebut alat produksi pengetahuan. Kampanye
Buku, gerakan membaca. Karena Revolusi Mental tak akan terjadi tanpa
adanya budaya membaca dan literasi di masyarakat.