![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgn8jpZQRGNmRaTg5dS4LG1k2j9tajdFAT_oTbaEROj_4c-hGhwWlF-tFrz4eBWGj_gtCb-3Ja9QG-vmBZC9DR4kGnR3Ari6jn1yW-EhvwHtK1h3RFPx3Okw6i-1iOWtQGeezL3IznFJck/s400/haedar+nashir+twibbon.png)
(IPM) tidak lepas dari misi
Muhammadiyah dan konteks kehidupan yang mengitarinya. Pada tahun 1961
, Muhammadiyah hampir berusia setengah abad dan belum memiliki sayap gerakan yang secara khusus menggarap komunitas pelajar, selain mahasiswa. Memang sejak berdirinya Muhammadiyah telah memiliki lembaga pendidikan, yang secara langsung dan utama membina pelajar sebagai sumberdaya generasi umat dan bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia.
Melalui lembaga pendidikan Islam modern yang dipeloporinya, Kepeloporan Muhammadiyah dalam pembaruan pendidikan
khususnya pendidikan Islam, selain melekat dengan ide tajdid atau pembaruan
Islam yang berada dalam alam pikiran Kyai Dahlan sebagai mujadid Islam
Indonesia, juga dalam pandangannya yang bersifat holistik atau integralistik.
Pendidikan Muhammadiyah sejak awal merupakan pendidikan Islam terpadu yang
memadukan pendidikan agama dan umum dalam berbagai ranahnya baik yang berdimensi
ruhaniah atau spiritualitas, intelektualitas, maupun kemampuan-kemampuan
keahlian dalam diri manusia. Dalam pandangan Dr. Kuntowijoyo (1985), pendidikan
Muhammadiyah sebagaimana digagas Kyai Dahlan, mampu mengintegrasikan antara
iman dan kemajuan, yang melahirkan generasi muslim terpelajar yang kuat iman
dan kepribadiannya sekaligus mampu menghadapi tantangan zaman, bahkan para
elite sosial kelas menengah yang kuat dan tersebar di berbagai struktur
kehidupan nasional. Karena itu tanpa harus memberi embel-embel terpadu atau
yang setara dengan itu, sejatinya dan semestinya seluruh lembaga pendidikan
Muhammadiyah haruslah mencerminkan pendidikan Islam modern yang holistik atau
integralistik.
Pendidikan
merupakan salah satu usaha dari Muhammadiyah, yang berkaitan dengan ikhtiar (1)
Meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumberdaya manusia agar
berkemampuan tinggi serta berakhlaq mulia; dan (2) Memajukan dan
memperbaharui pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta
meningkatkan penelitian (Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah tahun
2005). Adapun tujuan Pendidikan
Muhammadiyah ialah membangun sosok manusia yang utuh, yaitu: (1)
berkembangnya potensi manusia yang berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, beriman, dan bertaqwa kepada Allah, sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya; (2) terwujudnya kemampuan penciptaan, pengembangan, dan
penyebarluasan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang terintegrasi dengan
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; dan (3) terbinanya Keislaman dan
Kemuhammadiyahan di lingkungan pendidikan Muhammadiyah (Qoidah Pendidikan
Muhammadiyah). Dari usaha dan tujuan tersebut jelas sekali bahwa di satu pihak
pendidikan dalam Muhammadiyah merupakan usaha strategis baik dalam mewujudkan
cita-cita atau tujuan Muhammadiyah yakni mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya sebagai format masyarakat yang utama atau unggul. Di pihak
lain pendidikan Muhammadiyah merupakan jembatan emas menuju terwujudnya
peradaban bangsa dan dunia kemanusiaan sebagai bagian dari misi risalah Islam
untuk menjadi rahmatan lil-‘alamin di
muka bumi ini.
Namun dalam
lembaga pendidikan Muhammadiyah tersebut maupun di lingkungan Muhammadiyah
secara keseluruhan belum secara khusus terdapat pembinaan yang menyiapkan
pelajar untuk menjadi kader yang mampu menyerap misi gerakan sekaligus menjadi
anak panah organisasi. Dalam bahasa lain belum terdapat proses
penyiapan anggota inti pelajar Muhammadiyah yang mengemban misi dan usaha
Muhammadiyah. Dalam kaitan inilah maka dipandang penting lahirnya sebuah
organisasi otonom yang menggarap secara khusus dunia pelajar yang disiapkan
menjadi anggota inti penggerak Muhammadiyah, sehingga dari situlah kemudian
digagas dan dilahirkan Ikatan Pelajar Muhammadiyah atau disingkat IPM. Misi
Muhammadiyah yang spesifik itulah yang kemudian dapat dibaca dalam substansi
tujuan IPM, yakni “Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia,
dan terampil dalam rangka menegakkan, menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam
sehingga terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridloi Allah swt”.
Sebenarnya,
secara tidak langsung dan bersifat embrional, kehendak Muhammadiyah untuk
mendirikan organisasi yang membina pelajar tersirat dari gagasan Kyai Dahlan
dan Nyi Walidah Dahlan dalam “mengasramakan” para pelajar putra dan putri yang
ingin mendalami Islam di bawah bimbingan kedua tokoh utama Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah
itu. Demikian pula dengan kelahiran organisasi perhimpunan pelajar Muhammadiyah
di beberapa daerah seperti di Malang tahun 1926, di Yogyakarta tahun 1954, bahkan Ikatan Pelajar Muhammadiyah di
Wajo Sulawesi Selatan tahun 1950, yang kemudian dibubarkan oleh Muhammadiyah.
Benih-benih spirit ingin mendirikan sebuah organisasi khusus yang membina
pelajar Muhammadiyah sebenarnya telah tumbuh sejak awal.
Maka
berdirinya IPM tahun 1961 sebenarnya merupakan keniscayaan sejarah yang tinggal
menunggu waktu. Proses ini di internal Muhammadiyah sendiri melalui pergumulan
yang panjang, yang dimulai dari prakarsa Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
dalam Konferensinya di Garut tahun 1958, yang kemudian dilanjutkan dalam
Muktamarnya di Yogyakarta tahun 1960, yang membuahkan komitmen dengan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah dan akhirnya berdirilah atau dilahirkanlah Ikatan Pelajar
Muhammadiyah. Semangat dasarnya agar ada wadah khusus yang membina pelajar yang
siap untuk menjadi pelopor, pelangsung, penyempurna perjuangan Muhammadiyah.
Terdapat
konteks sejarah atau sosiologis yang juga khusus dan bersifat ideologis di
sekitar kelahiran Muhammadiyah. Ketika kekuatan-kekuatan organisasi Islam yakni
tokoh-tokoh Muhammadiyah, Partai Syarekat Islam Indonesi, Nahdlatul Ulama, dan
lain-lain mendirikan partai politik Islam Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) tahun 1945 di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1945,
pada saat itu terkandung cita-cita ideologi politik Islam yang satu mewakili
umat Islam. Setelah itu dan dalam spirit persatuan politik Islam itu dilahirkan
Deklarasi Panca Cita yang mengandung semangat kesatuan umat Islam yang
beromitmen bahwa ummat Islam bersatu dalam satu partai Islam Masyumi; bersatu
dalam gerakan mahasiswa Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); bersatu
dalam gerakan pemuda Islam yaitu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII); bersatu
dalam gerakan pelajar Islam yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII); dan berssatu
dalam Kepanduan Islam yakni Pandu Islam (PI). Namun konsensus politik tersebut
tidak bertahan lama karena pada tahun 1948 PSII keluar dari Masyumi, lantas disusul oleh NU pada tahun 1952 yang
membentuk dirinya menjadi Partai Politik sendiri. Tinggal Muhammadiyah yang
bertahan sebagai Anggota Istimewa Masyumi sampai partai Islam ini membubarkan
diri pada tahun 1959 atas tekanan politik rezim Soekarno.
Pada
saat itu sebagian kalangan umat Islam yang ingin mempertahankan konsensus Panca
Cita berkeberatan dengan gagasan mendirikan IPM, termasuk di sementara elite
pimpinan Muhammadiyah yang masih ingin mempertahankan eksistensi PII. Demikian
pula sebagian kalangan Muhammadiyah yang merasa cukup dengan adanya Pemuda
Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dan Nasyiatul ‘Aisyiyah. Tetapi generasi muda
terutama para elite Pemuda Muhammadiyah yang merasa tidak terwakili oleh
organisasi yang telah ada itu sekaligus memiliki kehendak untuk adanya
organisasi khusus milik Muhammadiyah sendiri yang membina pelajar, maka
dorongan yang kuat dan ditempa oleh keadaan yang tidak terelakkan, akhirnya
tetap bertekad bulat dan kemudian lahirlah Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada 18
Juli tahun 1961.
Dari
pergumulan sejarah yang penuh tarik-menarik itu sesungguhnya IPM lahir,
sehingga gerakan organisasi otonom yang membina komunitas pelajar ini
sesungguhnya sejak kelahirannya memiliki jiwa dan karakter yang bersifat
ideologis, bukan sekadar organisasi pelajar biasa yang bersifat profesional
atau teknis organisatoris. IPM lahir dalam dinamika ideologi yang sarat
perjuangan, termasuk untuk meneguhkan kekuatan dan eksistensi Muhammaiyah agar
memiliki organisasi pelajar milik sendiri dan tidak menggantungkan pada
organisasi lain. Lebih-lebih setelah organisasi Islam yang lain keluar dari
komitmen awal Msyumi dan Panca Cita, yang bergerak dalam ranah dan kepentingan
sendiri. Dengan tetap menyadari dan berkomitmen untuk memelihara ukhuwah dengan
seluruh kekuatan Islam lainnya, Muhammadiyah akhirnya berketetapan hati
mendirikan Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Kondisi
bangsa Indonesia awal tahun 1960-an hingga tahun 1965 yang mengalami
cengkeraman politik Demokrasi Terpimpin dan memasuki era Orde Baru rezim Soekarno
yang semakin otoriter dan cenderung diktatorial, semakin memperkuat pentingnya
kehadiran IPM, dan kemudian disusul oleh berdirinya Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) tahun 1964. Lebih-lebih setelah Soekarno yang didukung
Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis
Indonesia (PKI) membentuk aliansi Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan Komunis)
dalam menghadang kekuatan-kekuatan bangsa yang semakin kritis dan tidak ingin
Indonesia terperangkap pada sistem politik yang diktatorial dan mematikan
demokrasi yang telah diraihnya sejak kemerdekaan tahun 1945. Kehadiran IPM,
IMM, semakin memperkuat barisan dalam Muhammadiyah yang telah diperkuat oleh
Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, dan Hizbul Wathan dalam membina
generasi muda umat dan bangsa dari berbagai gerakan ideologi politik yang tidak
sejalan dengan misi Muhammadiyah, kepentingan umat Islam, dan kepentingan
nasional sebagaimana cita-cita awal kemerdekaan.
Orde
Lama jatuh tahun 1965 dan lahir Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Soeharto dengan trauma Orde Lama memulai kebijakan deideologisasi dan
depolitisasi dengan melakukan perubahan-perubahan yang sebenarnya terbilang
otoriter pula, termasuk penyederhanaan partai politik tahun 1973 menjadi tiga
yakni Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi
Indonesia yang dianggap mewakili basis massa utama masyarakat Indonesia. Dengan
kebijakan politik yang monolitik semua kekuatan bangsa dikontrol sedemikian
rupa, termasuk organisasi kemasyarakatan. Tahun 1985 diundangkan Undang-Undang
Organisasi Kemasyarakatan, yang antara lain mengharuskan seluruh organisasi
kemasyarakatan mencantumkan asas Pancasila dan tidak boleh berasas ideologi
lain, termasuk Islam. Muhammadiyah akhirnya dalam Muktamar tahun 1985 di
Surakarta menyesuaikan diri dengan UU tersebut.
Pada
saat yang sama pemerintah Orde Baru juga ingin mengontrol kekuatan mahasiswa
dan pelajar. Dalam hal pelajar seluruh sekolah harus bergabung dan berada dalam
Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), sebagai satu-satunya wadah pelajar atau
siswa sekolah. Dengan kata lain IPM dan seluruh organisasi pelajar yang selama
ini ada harus bergabung dalam OSIS, artinya tidak boleh berdiri di sekolah, termasuk
di sekolah Muhammadiyah. Setelah memakan waktu sekitar sepuluh tahun pergumulan
untuk mempertahankan diri, akhirnya tahun 1992 IPM menyerah dan mengubah diri
menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Jika dilihat konteksnya, apapun
perubahan itu merupakan paksaan rezim penguasa yang otoriter, yang sebenarnya
berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena itu terdapat organisasi
lain yang tidak mau mengubah diri, termasuk Pelajar Islam Indonesia (PII).
Seiring
dengan reformasi tahun 1998, kemudian terjadi perubahan kembali. Segala
kekangan politik yang dipaksakan Orde Baru dipulihkan dan lebih dahsyat lagi
terjadi proses demokrasi yang luar biasa dan menjadi serba bebas. Di tengah
perubahan iklim politik yang demokratis itulah kemudian Muhammadiyah kembali
menetapkan asas Pancasila dalam Muktamar tahun 2000 di Jakarta, sebagai bentuk
penyikapan atas kesewenang-wenangan. Demikian pula dengan IRM, melalui
perdebatan dan tarik-menarik yang agak berliku, akhirnya kembali ke eksistensi
semula menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Seperti yang dialami Muhammadiyah,
bahwa hikmah di balik perubahan apapun memang selalu ada, tetapi bukan pikiran
pragmatis seperti itu yang dipakai rujukan. Jangankan menerima kebijakan
politik monolitik, dijajah oleh Belanda ratusan tahun pun jika dipakai logika
hikmah tentu sedikit ada manfaatnya, tetapi mudharatnya jauh lebih besar dan
memang tidak zamannya lagi berada dalam penjajahan ketika seluruh bangsa-bangsa
di dunia memerdekakan diri.
Kadang
muncul logika lain, ketika keluar dari jebakan politik monolitik rezim
pemerintah, sebuah organisasi otonom berada dalam kekangan “rezim” organisasi
induknya. Logika ini sebenarnya tidaklah tepat, karena sejak awal kedudukan
organisasi otonom itu memang secara umum memiliki keleluasaan dalam mengatur
rumah tangganya sendiri, tetapi dalam hal berkaitan dengan organisasi induknya
selalu terdapat ikatan dan tatanan tertentu yang harus ditaati. Jika ingin
leluasa sepenuhnya dan tidak terikat dengan kebijakan organisasi induknya,
terbuka pilihan merdeka untuk menjadi organisasi independen yang berada di luar
Persyarikatan.
Perkembangan
dan keberadaan IPM sebagaimana organisasi otonom angkatan muda Muhammadyah
memiliki spirit ideologis dengan gerakan Muhammadiyah, selain ikatan-ikatan
organisatoris. Di dalamnya bahkan terkandung pembagian kerja yang memiliki
perbedaan khusus satu sama lain. Pemuda Muhammadiyah bergerak dalam area
kepemudaan dan kemasyarakatan, Nasyiatul ‘Aisyiyah membina kepemudian dan
kemasyarakatan, IMM dalam kemahasiswaan, dan IPM dalam kepelajaran. Begitu pula
organisasi otonom lainnya, termasuk Organisasi Otonom Khusus ‘Aisyiyah. Dalam
konteks gerakan kekinian, lebih-lebih masa depan, isu-isu gerakan dituntut
untuk semakin bergeser dari persoalan-persoalan organisatoris ke peran-peran
transformasional. Dibolak-balik seperti apapun soal wilayah perbatasan dan
pergerakan secara organisatoris, pada akhirnya akan bermuara pada tatanan
struktural yang tidak akan ada habisnya, dan selalu menyisakan persoalan.
Wilayah struktur memang berwatak kaku, membatasi, dan kadang mengatur. Padahal
tidak ada tatanan organisasi yang canggih sekalipun bebas dari kelemahan.
Kini
IPM dan pergerakan angkatan muda Muhammadiyah lainnya berada dalam tantangan
perjuangan yang luar biasa kompleks. Di lingkungan sendiri berhadapan dengan
masalah dan agenda Muhammadiyah yang tidak ringan, ketika gerakan Islam
modernis terbesar ini memasuki abad kedua pasca Muktamar Satu Abad di Yogyakarta
tahun 2010 yang lalu. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang demikian
besar, tentu memiliki prestasi yang besar, sekaligus masalah dan tantangan yang
juga besar. Karena itu seluruh komponen kekuatan Muhammadiyah, termasuk IPM,
dihadapkan pada tanggungjawab yang sama besarnya dalam mengemban misi gerakan
Muhammadiyah menuju abad kedua yang tentu harus mengukir kisah sukses pembaruan
gelombang kedua. IPM dituntut untuk menjadi bagian dari gerakan pembaruan di
dalam Muhammadiyah.
IPM
di dalam dunianya sendiri, yakni dunia pelajar, dihadapkan pula pada masalah
dan tantangan yang tidak ringan. Di satu pihak potensi anak-anak Indonesia
sesungguhnya luar biasa, yang tidak akan kalah dari anak-anak bangsa di belahan
dunia yang lainnya, yang memerlukan mobilisasi potensi seoptimal mungkin.
Pelajar Indonesia harus tumbuh-kembang menjadi generasi anak bangsa yang
cerdas, berkarakter mulia, dan berprestasi sebagaimana anak-anak di negara maju
untuk menjadi pilar dari keunggulan bangsa. Di pihak lain dunia pelajar
Indonesia sejalan dengan perubahan sosial yang menyertai masyarakat yang
melahirkannya, tengah dihadapkan pada berbagai masalah yang tidak ringan
seperti ancaman tawuran, narkoba, dan virus-virus lainnya yang dapat merusak
potensi dan martabat dirinya selaku pewaris peradaban bangsa. Pada posisi
demikian menantang itulah IPM berada dan dituntut perananannya untuk menjadi
kekuatan pencerah.
Sementara
dunia pendidikan di negeri ini juga tidak kalah berat dalam menghadapi
persoalan. Pendidikan sebagai strategi kebudayaan di satu pihak dituntut untuk
tetap berada dalam jalur utamanya membangun manusia yang berakal-budi utama.
Tetapi pada saat yang sama dunia pendidikan juga dihadapkan pada
persoalan-persoalan pragmatis yang tidak jarang menggeser orientasi utamanya,
sehingga menjauh dari strategi kebudayaan dan lebih bergerak dalam komoditi
yang serba pragmatis. Berbagai skandal di dunia pendidikan, termasuk kecurangan
dalam ujian nasional, sedikit maupun banyak sebenarnya merupakan gangguan
sekaligus virus yang dapat membelokkan arah dunia pendidikan dari tujuannya
yang utama untuk menjadikan manusia yang manusiawi dan berakal-budi mulia.
Dalam dunia pendidikan yang sarat tantangan IPM berada dan dituntut untuk
menjalankan misinya sebagai gerakan pelajar yang memiliki tujuan yang senapas
dengan tujuan lembaga pendidikan yakni melahirkan genarasi yang cerdas,
berakhlaq mulia, dan berguna bagi lingkungan kehidupan.
Sebagai
kekuatan ideologis gerakan Islam reformis, IPM bersama komponen Muhammadiyah
yang lain tidak kalah pentingnya dituntut untuk menjalankan fungsi dakwah dan
tajdid menuju peradaban utama sebagaimana visi Muhammadiyah pasca Muktamar Satu
Abad. Visi
Muhammadiyah lima tahun ke depan (2010-2015) yang harus diwujudkan dalam jangka
menengah ialah: (1) Meningkat dan berkembangnya organisasi dan jaringan untuk
menjadi gerakan Islam yang maju, profesional, dan modern; (2) Meningkat dan
berkembangnya sistem gerakan dan amal usaha yang unggul dan mandiri bagi
terciptanya kondisi dan faktor-faktor pendukung terwujudnya masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya; dan (3) Meningkat dan berkembangnya peran strategis
Muhammadiyah dalam kehidupan umat, bangsa, dan dinamika global. Sedangkan Visi ideal yang tak terbatas ialah terwujudnya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana menjadi proyeksi dari tujuan IPM.
Mewujudkan visi yang mulia itu tentu memerlukan kekuatan kader yang
berkeyakinan kuat, berwawasan pemikiran luas, berkepribadian yang utama, dan
bertindak unggul sehingga membuahkan kemajuan yang serba melampaui.
Dalam perkembangan kehidupan yang lebih luas, IPM
sebagaimana Muhammadiyah dan seluruh komponen gerakannya, berhadapan dengan
dunia modern dan pasca-modern abad ke-21 yang sarat tantangan dan masalah yang
serba kompleks. Hidup dalam percaturan lokal, nasional, dan global yang sarat
perubahan tidaklah mudah karena bukan sekadar menjalani, apalagi terbawa arus,
tetapi tidak kalah pentingnya mewarnai layaknya etos ideologi gerakan
pencerahan. IPM sebagaimana Muhammadiyah yang tengah memasuki abad kedua di
tengah dinamika kehidupan modern dan pasca-modern yang kompleks dan sarat
perubahan itu, tentu dituntut untuk mampu menjadi pengemban misi dakwah dan
tajdid sehingga gerakan Islam ini mampu mewujudkan tatanan peradaban yang utama
sebagaimana yang dicita-citakannya. Dengan misi Islam yang berkemajuan, seluruh
kekuatan Muhammadiyah, termasuk IPM di dalamnya, harus menjadi pelaku gerakan
pencerahan yang strategis itu, sehingga baik IPM maupun komponen Muhammadiyah
lainnya benar-benar melakukan peran transformasi yang bersifat membebaskan,
memberdayakan, dan memajukan kehidupan peradaban umat manusia.
Sumber: Buku Manifestasi Gerakan Perlawanan Pelajar: Kado Emas Milad 50
Tahun IPM Berkarya untuk Bangsa. (2011).
*) Penulis adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah 2015 - 2020, merupakan Alumni IPM dan pernah menjabat sebagai Ketua I PP IPM 1983-1986
*) Penulis adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah 2015 - 2020, merupakan Alumni IPM dan pernah menjabat sebagai Ketua I PP IPM 1983-1986