Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
http://buzzerg.com/ |
Arah
kebudayaan, Els Bogaerts yang mengutip pengamatan Claire Holt adalah kecintaan
pada masa lalu, kesadaran tentang masa kini, dan aspirasi terhadap masa depan
(Lindsay& Liem: 2011, 255). Arah
kebudayaan juga dapat diartikan sebagai pertukaran kecenderungan manusia
membuka dirinya terhadap realitas yang dipahami dan direfleksikannya. Sebagai
contoh, masa romantisme adalah arah anti-tesis terhadap kecenderungan
industrialisasi pada masa 1800an. Sebuah upaya untuk membendung model gerakan
budaya, seni, intelektual, hingga manifestasi ide yang industrial-sentrisme.
Maka dalam konteksnya masing-masing, kebudayaan adalah tameng yang dibuat unuk
mengukuhkan identitas kolektif masyarakat. Foucault, memandang proses ini
sebagai upaya politis terhadap terhadap deskripsi manusia yang dikonstruksikan
melalui kekuasaan. Tentu saja, Foucault memandangnya secara negatif, bahwa
upaya ini seringkali mengkangkangi kebebasan subjek menurut tahapan alamiah
yang seharusnya ditentukannya sendiri. Pada tingkat ini, tidak ada pembicaraan
mengenai persoalan utama arah kebudayaan sebagaimana yang dikutip Bogaerts dari
Holt, tetapi bagaimana kebudayaan itu sendiri mendefinisikan upaya pembentukan
eksistensinya dan melekatkannya kepada subjek. Kongres kebudayaan tahun 1984 di
Indonesia walaupun membawa semangat dan spirit pembebasan ala negara pasca
kolonial apakah juga dipandang demikian?. Apakah juga akan dipandang sebagai
bentuk pengekangan, atau semacam semi-kolonialis dalam bidang kebudayaan dan
identitas?.
Jennifer
Lindsay memberikan jawaban singkat sekaligus pertanyaan awal yang cukup penting
untuk hal ini. Menurut Lindsay, menyatukan masyarakat Indonesia ke dalam
identitas kolektif (budaya) pada masa-masa awal kemerdekaan lebih banyak
ditentukan oleh niat baik masyarakat untuk hidup bersama (Lindsay& Liem:
2011, 2). Objektifikasi terhadap kebutuhan untuk membangun mental bangsa memang
berawal dari keinginan untuk hidup berdampingan. Realitas sejarah memang
menunjukkan bahwa dalam hal tertentu kesepakatan tidak terjadi secara merata
misalnya mengenai sejarah “kemerdekaan”. Antara Jakarta dan Banda Neira
memahami awal kemerdekaan terpaut jauh empat tahun. Kesepakatan yang tidak
final mengenai sejarah Indonesia sendiri tidak serta merta meleburkan keinginan
membangun negara-bangsa. Dan sejarah Indonesia, meskipun mempengaruhi
pendekatan terhadap kebudayaan, tetap saja menyisakan ruang terbuka untuk
perdebatan kebudayaan yang ramai seperti pada masa 1950-1965. Untuk hal itu, konstruksi
identitas kebudayaan Indonesia mungkin saja dilihat sebagai bentuk kesediaan
masyarakat menerima bentukan eksternal. Kesediaan itu, dalam ruang geografis
membuka masalah seperti yang terjadi pada awal 1900-an dimana identitas
Indonesia, yang juga berarti identitas bangsa-ganda hanya dapat diselesaikan
dengan kekuasaan melalui komitmen yang memiliki legitimasi dan atas dasar
objektif dekolonialisasi harus segera dilakukan. Oleh karena itu, Lindsay
memiliki keyakinan bahwa “menjadi Indonesia” adalah sebuah isu budaya.
Budaya dan Agama; sebuah diskursus tak henti
Ada yang
menarik dari thesis besar Samuel Huntington dalam clash of civilization bahwa pasca perang dingin, basis konflik
cenderung berubah. Pra perang dingin, konflik terjadi antara kekuatan
kapitalisme dan kekuatan komunisme. Sedangkan pasca perang dingin, menurut
Huntington, konflik lebih banyak berbasiskan politik identitas dan keagamaan.
Tentu saja, dengan model generalisir, banyak mempersoalkan thesis Huntington
tersebut. meskipun kegagalan Huntington dalam memperjelas pola dan menghindari
generalisasi tidak serta merta menghancurkan thesisnya. Kecenderungan
negara-negara Eropa seperti Prancis dan Belanda yang mulai mempertanyakan
kebijakan multikulturalisme memperlihatkan kebenaran tersendiri. Ada persoalan
dari fakta tersebut, seperti yang disinggung oleh Huntington, basis politik
identitas dan keagamaan menjadi faktor konflik baru. Prancis yang membuka
komunikasi dengan komunitas muslim melalui Conseil
Francais du Culture Musulman (CFCM) dan Belanda dengan Contactorgaan Muslims en Overheid (CMO) menunjukkan ada persoalan
komunikasi khusus dengan komunitas muslim sebagai bagian dari warganegara yang
perlu menjalin komunikasi intensif dengan negara.
Di
Indonesia, “Forum Komunikasi Umat Beragama” (FKUB) juga mengambil peran serupa,
meskipun digagas berlandas pada kesadaran masyarakat sendiri. Agama dalam hal
ini harus dianggap atau diasumsikan sebagai variabel yang membentuk nilai-nilai
pemeluknya hingga manifestasinya ke dalam bidang ekonomi, politik hingga budaya
juga mengikuti paradigma keagamaan yang dianut. Persoalan apakah nilai-nilai
itu homogen atau tidak ternyata ditafsirkan secara keliru oleh
pemimpin-pemimpin negara yang meninggalkan kebijakan multikulturalisme. Kritik
mengenai hal ini berasal dari pengamat-pengamat seperti Mirza, Senthilkurman
dan Ja’far. Negara-negara Eropa berharap dengan sistem pendidikan, dan
kebijakan-kebijakannya dapat menghasilkan warganegara yang melebur secara
integratif. Akan tetapi peningkatan terorisme merubah cara pandang
negara-negara Eropa terhadap komunitas-komunitas berbasis politik identitas dan
keagamaan khususnya Islam. Komunitas muslim di Prancis misalnya, dianggap tidak
mampu berintegrasi dengan masyarakat Prancis (Robert& Boli Tobi: 2014,
116). Ketidakmampuan berintegrasi dengan masyarakat mengandung juga arti bahwa
komunitas muslim tidak mampu menjembatani antara ruang privat, ruang publik,
dan sistem politis yang sedang berjalan. Maka bisa saja, tipikal komunitas
muslim berubah dalam arti yang negatif menjadi ketidakpatuhan warga (civil disobedience) jika komunikasi
antara negara dan komunitas muslim tidak menghasilkan kesepakatan sosial.
Dalam
kasus-kasus di mana negara-negara Eropa meninggalkan kebijakan multikulturalisme
mengindikasikan bahwa ketidaksepakatan mengenai keragaman ruang-hidup antara
komunitas yang satu dengan yang lain memiliki benturan seperti tesis
Huntington. Persoalan ini bertambah serius karena antara negara dan komunitas
yang memiliki nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama tidak mampu
mengkomunikasikan kompleksitasnya sendiri. Negara-negara Eropa melihat
representasi komunitas muslim melalui tokoh masyarakat sudah cukup untuk
memahami lebenswelt muslim secara
keseluruhan. Padahal titik lemah komunikasi melalui aktor demikian sudah
terlihat tidak cukup efektif. Titik lemah pertama adalah pemahaman agama sebagai
praksis tunggal, padahal agama adalah keseluruhan hidup tetapi tidak absolut
pada tataran makna. Kedua adalah, mengikuti pendapat Maxime Rodinson, Islam
sebagai agama tidak dapat diteliti melalui simbol yang ditunjukkan pemeluknya,
maka asumsi-asumsi awal tentang Islam harus dilepaskan terlebih dahulu sebelum
mendalami Islam sebagai sebuah wacana, isu, idea atau dasar praksis hidup
muslim.
Di Indonesia
problem agama dalam konteks budaya juga sangat kompleks dan harus hati-hati membelahnya
dari variabel budaya. Relasinya sebagaimana tampak tidak hanya di dunia ketiga,
memerlukan penelurusan yang mendalam. Nilai-nilai normatif yang ada di agama
dapat diterjemahkan secara dinamis dalam lingkup praksis. Posisinya juga sama
dengan norma-norma di dalam budaya, yang ditransfigurasikan oleh penganutnya ke
lingkup praksis. Dengan demikian, benturan antara agama dan budaya juga dapat
terjadi di lingkup praksis. Budaya yang disandarkan pada banyak sumber dan
suatu sistem otoritas sendiri menemukan bahwa agama juga pada tataran tertentu
bertindak secara niscaya demikian. Maka problem kebijakan multikulturalisme
yang ditinggalkan oleh Prancis dan Belanda seharusnya bukan karena dalih bahwa
pemeluk agama tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat (atau berintegrasi
dengan kesadaran kolektif masyarakat yang secara arbiter ditentukan arah
kebudayaan dan kompetensi kebudayaannya melalui kekuasaan). Tetapi lebih pada
persoalan bawaan bahwa agama dan budaya merupakan ruang-kehidupan yang hanya
dapat diselesaikan dengan tindakan komunikatif. Sejauh ini, tidak semua agama
dan budaya menolak bentuk-bentuk demokrasi. Dasar-dasarnya tetap ada dan
tercermin bahwa demokrasi dapat diterima selama tidak banyak bersinggungan
dengan elemen fundamental nilai-nilai agama ataupun budaya.
Problem
multikulturalisme sebenarnya secara sederhana terletak pada kompetensi rasional
tindakan komunikatif. Budaya yang berlainan memiliki model kompetensi
rasionalitas yang berbeda. Perbedaan rasional dengan demikian juga turut mencirikan
budaya yang berbeda. Budaya yang menggunakan medium bahasa rasionalnya sendiri
berpotensi ditolak karena perbedaan konten narasi dan kompetensi analitis.
Meskipun sebenarnya, kompetensi analitis tidak terlalu bermasalah jika
dibandingkan dengan konten narasi itu sendiri.
Menemukan Manifesto Kebudayaan ala IPM
Setelah
menjelaskan secara singkat tentang pergulatan budaya dan hal-hal yang
melingkupinya, gagasan selanjutnya yang perlu diperjelas adalah bagaimana
kebudayaan itu sendiri sebagai sistem ide dan perannya sebagai medium
eksistensi subjek (manusia, masyarakat). Mengenai hal ini, untuk mengawalinya
perlu disadari bahwa budaya sebagai sistem
ide bersangkut dengan kekuasaan. Persoalan apakah budaya itu justru muncul
sebagai transcript untuk menentang
kekuasaan tidak mempengaruhi relasi budaya dan kekuasaan. Kekuasaan tidak harus
bermakna atau berdiri dibelakang kemufakatan legitimasi, tetapi juga berada
pada makna yang-mendominasi, yang-mempengaruhi, dan yang-menentukan. Wijaya
Herlambang misalnya dalam Kekerasan
Budaya Pasca 1965 memaparkan bagaimana kekuasaan memanfaatkan lajur
kebudayaan sebagai sayap pelestarian kekuasaan atau hegemoni negara
(Indonesia). Kebudayaan, jika menggunakan perspektif tersebut, dapat
menghasilkan kesimpulan bahwa kebudayaan juga menentukan bagaimana masyarakat
akan berkesadaran terhadap bidang-bidang lain seperti ekonomi. Ada asumsi yang
dipegang kuat oleh kelompok mahzab kritis bahwa sistem bahasa mengandung
intervensi khusus di dalam kesadaran kolektif masyarakat. atau dengan kata
lain, budaya dapat mempropagandakan bagaimana seharusnya kesadaran kolektif
masyarakat berlangsung.
Kebudayaan sebagai
“sayap rezim” yang diperkenalkan oleh Herlambang
mengingatkan kita betapa pentingnya kesadaran kritis terhadap budaya yang
mengemuka dalam konteks selera publik. Kesadaran
tentang budaya menjadi pengingat bahwa budaya tidak datang dari ruang yang
vakum dari pertautan antara politik dan kepentingan, antara manusia dan aras
produksi ekonomi. Misalnya apa yang disebut sebagai budaya kreatif, yang
merujuk pada kemampuan pengolahan alam menjadi benda pakai juga secara tak
langsung mengarah pada mode produksi yang memisahkan produk kelompok hegemoni
alat produksi seperti jaringan industri, hingga keterampilan yang
disosialisasikan secara ekslusif melalui perantaraan modernitas seperti
teknologi gawai atau bahkan listrik. Jangan bayangkan ekonomi kreatif yang
bersandar pada proses budaya kreatif dapat dihasilkan oleh jenis masyarakat
yang tidak setara; antara urban dan desa, antara yang didukung koneksi internet
memuaskan, dan yang dibebankan mahalnya biaya koneksi listrik apalagi internet.
Manifesto kebudayaan
gerakan pelajar harus menjadi dasar-dasar premis bahwa budaya tak pernah lepas
dari tautan politik dan konteks tertentu akan menjadi bahan yang cukup untuk
menghasilkan gerakan kebudayaan tandingan yang tak hanya memikat, tetapi juga
membawa misi utuh. Inspirasi manifesto kebudayaan gerakan pelajar itu bisa
mengambil inspirasi dari banyak tempat dan waktu. Sebagaimana yang pernah saya
tulis soal Ahmad Dahlan dan strategi kebudayaannya yang “tak merugikan”
siapapun dapat menjadi arena pembelajaran yang melibatkan simbol tokoh dan
refleksi masa depan. Manifesto kebudayaan yang diperkenalkan oleh Ikatan Remaja
Muhammadiyah (sekarang IPM) sebenarnya memberikan banyak catatan penting soal upaya-upaya
pembelajaran manifesto kebudayaa. Gerakan matikann TV, gerakan Iqro’, revolusi
semut, dan lain sebagainya yang begitu populer dikembangkan oleh IPM menjadi
inspirasi yang tak selesai dipelajari.
_____________________________
Penulis
adalah kurator @MabacaKomunitas, anggota PIP PP IPM 2014-2016, pegiat LaPSI PP
IPM, beredar di twitterland dengan akun @FauAnwar