Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Amazon.com |
Paling tidak terdapat dua kutub
besar dalam membedah persoalan ekologi sejak abad pertengahan hingga hari ini. Dua kutub besar itu diwakili oleh pandangan Malthusian yang melihat bahwa
persoalan relasional antara manusia dan alam terletak pada keterbatasan alam
dalam memenuhi hasrat serta pertumbuhan populasi manusia. Pandangan Malthusian
ini pada umumnya dikenal secara teoritis dengan “batas-batas alam” dalam
menyediakan kebutuhan manusia (Foster, 2013). Kutub yang satu lagi dibahas
dalam pertentangan antara sumber masalah ekologi yang berakar dari problem
antroposentris, yang melihat kerusakan alam akibat dari manusia memperlakukan
alam sebagai “sumberdaya” yang dapat dipergunakannya sehendak hasrat. Pandangan
antroposentris memandang bahwa manusia merupakan pusat alam semesta; manusia
yang menentukan proses perputaran zaman, sedangkan alam bagian dari
rekayasa-rekayasa peradaban manusia, tak lebih dari itu.
Sejumlah kritik sudah dilakukan
untuk memperlihatkan betapa kelirunya dua kutub pemikiran itu dalam
memperlakukan alam sebagai sebuah entitas. Kritik yang paling keras muncul dari
Marxisme Ekologi yang menunjukkan betapa naifnya dua pandangan itu. Menurut Marxisme
Ekologi, terdapat semacam “konstruksisme radikal” yang menjadi pangkal soal
mengapa alam dianggap sebagai produk perkembangan konstruksi manusia. Penyangkalan
ontologis bahwa alam hadir sebagai realitas yang juga berdiri sendiri, dan tak
selalu merupakan objek dari konstruksi kognitif manusia semata. Kritik Marxisme
Ekologi terhadap dua kutub tersebut memang menarik, akan tetapi yang menjadi
fokus tulisan ini berkaitan dengan cara mengurai disekuilibrium manusia dan
alam melalui kacamata fenomenologi yang disebut dengan Ekofenomenologi. Bagaimana
menggagalkan penjelasan antropentris yang selama ini menjadi dalih eksploitasi
alam? Bagaimana juga merefleksikan bahwa alam sebenarnya tak pernah bermasalah
dalam kapasitasnya, misalnya menyediakan persediaan pangan bagi manusia, sejauh
tak ada asumsi ala Malthusian bahwa manusia di seluruh negara tengah menghadapi
ancaman kekurangan pangan?.
Memahami Ekofenomenologi
Ekofenonemologi
berasal dari gabungan dua istilah, ekologi dan fenomenologi. Istilah ekologi, sebagaimana diketahui merujuk pada cabang
pengetahuan yang membahas relasi antara segala jenis makhluk hidup dan
lingkungannya. Meskipun demikian, istilah ini digunakan secara luas untuk
menunjukkan proses memahami interaksi antara makhluk hidup dan lingkungan. Sedangkan
fenomenologi merupakan sebuah metode filsafat untuk memahami realitas. Fenomenologi
sebagai metodologi muncul dari konteks waktu abad 19 di mana cara memahami terhadap
realitas diwarnai oleh dua pemahaman besar yakni Cartesian dan Positivistik.
Edmund Husserl termasuk pengusung fenomenologi murni yang mengakui kekayaan
ontologis.
Dibanding
dengan Marxisme Ekologi, Ekofenomenologi termasuk teori dalam konteks etis yang
dilakukan melalui pemahaman yang radikal sekaligus mendorong perombakan ontologis
(Saras Dewi, 2015: 3). Oleh karena itu, dalam ekofenomenologi, manusia dan alam
berada dalam wilayah ontologi yang saling tak terisolir. Manusia dan alam
berada dalam satu konteks ontologi yang serupa. Dengan demikian, tak ada objek
maupun subjek antara manusia dan alam, hal ini disebut sebagai ekuilibrium. Tugas
ekofenomenologi dalam mempersoalkan kerusakan ekologi hari ini adalah dengan
membuktikan kenaifan teori antroposentris dalam membagi posisi ontologi antara
alam dan manusia. Ekofenomenologi dalam konteks ini membangun sebuah kerangka
ontologi baru yang berbeda (Saras Dewi, 2015: 2).
Konsep Konservasi Berbasis
Ekofenomenologi
Bagaimana
fenomenologi melihat konsep konservasi yang tepat? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, pertama-tama penting untuk dipahami bahwa praktik konservasi alam yang
jamak ditemukan tak pernah lepas dari kesadaran antroposentris. Jenis kesadaran
ini misalnya terlihat dari bagaimana narasi-narasi konservasi hutan alam
antroposentris mengemuka. Misalnya paradigma yang menyatakan bahwa alam adalah
properti yang sangat jelas terlihat dari penggunaan istilah “sumberdaya alam”.
konservasi antroposentris ini berakar dari kisah pemahaman yang keliru bahwa
alam hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pertanyaan ini tampak tak menukik,
jika kita tidak mempersoalkan manusia macam apa yang disebut sebagai “manusia”
dalam kerangka antroposentris yang secara tak sadar mendiskriminasi posisi
manusia sebagai pengguna alam berdasarkan atas klas sosial tertentu. Bagaimana
ceritanya program konservasi pulau di Sumatera ditujukan bagi dua manusia saja?
Dalam
perspektif ekofenomenologi, penguasaan terhadap alam sebagai properti
melestarikan cara perbudakan. Relasi antara objek dan subjek menguat, sehingga
perombakan total atas ontologi begitu menguat. Merleau-Ponty, seorang fenomenolog
akan membantu kita dalam menemukan paling tidak tiga insirasi dasar konservasi
dari sudut padang ontologi-ekofenomenologi. Pertama, alam merupakan sesuatu
yang fundamental bagi manusia, eksistensi manusia sangat bergantung pada alam. Eksistensi
manusia tidak hanya soal fisik atau biologis, tetapi juga tentang eksistensi
alam sebagai tubuh eksternal manusia. Artinya, alam dan manusia berada pada relasi
intensional, cara manusia memproduksi makna sangat bergantung relasi
intensional tersebut (Saras Dewi, 2015:89). Dengan kata lain, proses
memproduksi makna hidup manusia akan berhenti saat alam tak dipandang setara.
Kedua,
sebab alam merupakan ruang dan waktu manusia, maka proses konservasi alam harus
melibatkan kesadaran akan faktisitas. Misalnya dalam memaknai “bencana” alam,
manusia harus sadar bahwa yang disebutnya “bencana” itu tidak dapat diterima
menurut logika faktisitas. Selalu ada yang seharusnya muncul pertama kali
sebagai wujud awal tak berpretensi dari alam. Ketiga, masih mengikuti ontologi
ala Ponty, konservasi alam merupakan cara menyelamatkan pengalaman dan
kesadaran manusia. Menurut Ponty, apa yang disebut sebagai jiwa atau akal bagi
manusia itu tak pernah terlepas dari interaksi kompleks antara manusia dan
alam. Manusia memiliki jiwa atau akal secara niscaya membutuhkan interaksi
dengan gunung, hewan, tumbuh-tumbuhan atau materi alam. Tanpa bertahan dengan
interaksi itu, jiwa dan akal manusia tak berarti apa-apa. Bahkan tak akan
berkembang. Pengalaman dalam proses interaksi itu telah menyebabkan manusia
memiliki jiwa dan akal.
Tiga
inspirasi konservasi lingkungan berbasis ekofenomenologi tersebut memberi dasar
mengapa antroposentrisme tidak hanya keliru menurut analisa
ekonomi-politik, tetapi juga lemah dayanya mempertahankan bangunan argumentasi
dari sisi ontologi. Kegagalan konservasi alam berbasis antroposentrisme
menjawab mengapa proses konservasi alam kita selama ini justru menghasilkan
penindasan, serta menjadi jalan menjauhi ekuilibrium.
Referensi
Dewi,
Saras, Ekofenomenologi; Mengurai
Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri,
2015).
Foster, John Bellamy, Ekologi Marx; Materialisme dan Alam, terj. Pius Ginting, (Jakarta: Walhi, 2013).
Foster, John Bellamy, Ekologi Marx; Materialisme dan Alam, terj. Pius Ginting, (Jakarta: Walhi, 2013).
____________________________
Penulis adalah kurator @MabacaKomunitas, anggota PIP
PP IPM 2014-2016, pegiat LaPSI PP IPM, beredar di twitterland dengan akun
@FauAnwar.