Pembicaraan
pada pagi menjelang
siang itu diawali oleh
sebuah pertanyaan unik.
siang itu diawali oleh
sebuah pertanyaan unik.
“Masih ingat ngak sama Buku Pintar?” tanya Huda di ruang rapat lantai empat, dengan samar-samar terdengar suara para tukang memecah keramik karena kantor PP Muhammadiyah sedang dalam proses renovasi.
Pikiranku langsung tertuju pada buku setebal ratusan halaman,
berisi deskripsi dunia, peta-peta, bendera-bendera, profil provinsi-provinsi
dan hal lainnya yang membuat buku ini disebut ‘pintar’. “Maksudmu buku Pintar
karangan Iwan Gayo?”.
Huda mengambil smartphone,
membuka laman, dan menulis ‘buku pintar Iwan Gayo’. Hasil pencariannya
memperlihat wujud cover buku. “Ini dia” seru Huda menunjukkan gambarnya. “Aku
dulu koleksi Buku Pintar ini lengkap, mulai dari edisi pertama sampe
revisian-revisiannya” katanya tertawa. “Ibu dan bapakku pasti beliin, karena pengen anak-anaknya rajin membaca”.
Iwan Gayo, penulis Buku Pintar, lahir di Takengon, Aceh, 7
November 1951. Penulis ini punya makna sendiri bagi para pembaca di kota-kota
menengah Indonesia era 80-90an. “Toko buku di Lampung itu jarang, dulu ada satu
toko buku tapi sekarang sudah jadi Hotel di Metro. Kalau tempat jual buku aja
susah ditemukan, bagaimana mau cari bacaan yang bagus?. Buku Pintar adalah
salah-satu solusi anak-anak zaman itu membaca, termasuk di kampungku” Huda
menjelaskannya sembari membuka-buka lagi gambar-gambar Buku Pintar. Aku
membatin. Jangankan Metro, Yogyakarta yang dikenal sebagai “Kota Pelajar”
memperlihatkan bahwa duka literasi bukan dongeng yang diulang-ulang budayawan. Toko
buku, gerai buku, hingga penjual lapak buku di perempatan benteng Vredeburg tak
mampu melawan modernisasi dan globalisasi kapital yang mewujud dalam tata kota.
Mulai dari Cikapundung di Bandung, Pasar Senen di Jakarta, Palasari, atau area
Shoping Center di Manado, senjakala mana yang tak akan menggerogotinya?.
Selain Buku Pintar, Iwan Gayo juga menggarap penulisan
Ensiklopedia Islam dengan riset selama 22 tahun, di tengah kondisinya yang
harus beberapa kali naik meja operasi. “Ini Jihad saya..” kata Gayo saat
diwawancarai seorang wartawan. Buku Pintar punya dua edisi, yakni Buku Pintar
Edisi Senior dan Junior. Edisi Senior pertama kali diterbitkan pada tahun 1986,
dan pada tahun 2013 sudah mengalami proses cetak hingga 45 kali. Buku Pintar
termasuk dalam kategori ensiklopedia sekaligus kamus.
“Aku paling senang dengan bagian mengenai keajaiban dunia,
lebih-lebih yang berkaitan dengan jawaban pertanyaan ‘tahukah kamu?’.
Para penulis ‘ensiklopedia’ punya riwayat kerja literasi yang
panjang dalam sejarah manusia. Mulai dari riwayat klenik hingga fungsional, karena
memang ada banyak anekdot menarik soal literasi. Seorang raja pernah
diceritakan harus dihukum karena tak mau kisahnya dicatat, atau seorang raja
yang hidupnya tersiksa karena karma tak membaca. Yang lebih ganjil lagi tentang
seorang raja yang dihukum di neraka karena melanggar tradisi tulis-menulis. Islam
bahkan punya kisah memukau tentang proses turunnya wahyu Tuhan melalui perintah
“Iqra” yang berarti “Bacalah!”. Kalau paling kontemporer ya fiksi karya Carlos
Maria Dominguez tentang Carlos Brauer dan Bluma Lennon yang terlibat dalam
peristiwa-peristiwa aneh, keputusan, dan nasib karena perkara satu eksemplar Poems karya Emily Dickinson. Pada zaman
yang sangat lampau, para penulis adalah segolongan manusia yang kebal hukum. Para
penulis, dan buku-buku harus terhindar dari dinamika politik supaya tak ada
campur tangan kepentingan yang merusak riwayat ontologis yang dikandungnya.
***
Bukan cuma sejarah, buku sendiri bisa menjadi sangat berkesan bagi
beberapa orang. Setelah pembicaraan mengenai Buku Pintar, Huda mulai
menceritakan apa saja yang dibacanya dahulu. “Sebelum membaca komik, saya sudah
membaca novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karangan Buya Hamka”. Ada
beberapa nama sastrawan muslim yang dikenal hingga sekarang, Buya Hamka adalah
salah-satu yang fenomenal. Dua tahun terakhir Buku-buku Buya Hamka ataupun
buku-buku yang berkisah tentangnya dapat ditemui terus menerus. Beberapa karya
dicetak dengan format cover baru.
Huda diam sambil mengingat-ingat apa sebabnya di usia belasan
tahun sudah menggemari novel Buya Hamka. Tak lama kemudian dia berkata, “Aku
baca Tenggelamnya Kapan Van der Wijck karena kakakku jurusan sastra. Jadi dia
punya koleksi-koleksi novel. Buku-buku sastra itu menumpuk, dan membuat
penasaran. Beberapa di antaranya aku baca sampai selesai.”
Aku tahu pasti bagaimana Khoirul Huda, seorang aktivis IPM
memaknai karya salah-satu pujangga besar Muhammadiyah itu. Buya Hamka sendiri
telah menjadi inspirasi yang luas bagi anak muda Muhammadiyah era 80-90an.
Kanon terbesarnya, Tafsir Al-Azhar telah menjadi karya penting yang
memperlihatkan cara kerja jenius penulis melayu terhadap teks Arab. Hingga saat
ini, kerja literasi orang melayu mempunyai sejarah tersendiri bagi sejarah
literasi Indonesia. Buya Hamka lahir dalam konteks keberaksaraan cetak modern
masyarakat Sumatera. Hamka yang lahir pada tahun 1908 di Maninjau, mengalami
pengalaman literasi yang turun temurun dijaga masyarakat Sumatera. Pada usia
empat tahun, Buya Hamka pindah bersama orangtuanya ke Padang. Di sana ia
terbiasa menghapal pantun dan hidup dengan tradisi laki-laki Minangkabau yang
diharuskan mampu membaca dan menulis Al-Qur’an. Orang Minang mengenal
keberaksaraan cetak baru pada tahun 1827. Kendati demikian, tradisi literasinya
sudah sangat tua. Tradisi Islam memberi corak bagi pembentukan minat terhadap
keberaksaraan pernaskahan masyarakat Minang. Pada abad 19, keberaksaraan cetak turut
memperkaya persentuhan masyarakat minang dari dengan aksara Latin.
Tradisi literasi telah membentuk kebudayaan beberapa masyarakat
pra-Kolonial. Tak heran jika masyarakat jenis ini tumbuh lebih cepat dalam hal
perniagaan dan industri. Sesuatu yang barangkali menjadi ironi pada sisi yang
lainnya. Tetapi kehadiran para pekerja literasi memberi “terang” bagi dunia.
“Masa lalu aku terselamatkan karena orang-orang ini (Iwan Gayo dan Buya Hamka),
mereka menulis, dan kita orang-orang di kampung bisa membaca, jadi tahu apa yang
dimiliki oleh kebudayaan kita sendiri” kata Huda sambil mengetuk meja,
menimbulkan bunyi dan kesan empatik.
*) Penulis
adalah Fauzan Anwar Sandiah, Mahasiswa Program Magister di UIN Sunan Kalijaga. Merupakan Anggota Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan PP IPM
Periode 2014 - 2016