Terlepas dari
berbagai dinamika yang terjadi selama Muktamar XX IPM 2016 di Samarinda,
pertemuan nasional itu telah mengembalikan fungsi emansipatoris organisasi. Hal
ini lebih penting untuk direfleksikan karena berkaitan dengan pencapaian
internal IPM. Organisasi sipil apa pun termasuk yang dikelola oleh kelompok
muda mengalami benturan baru dengan perubahan-perubahan ekonomi-politik negara,
dan konsekuensi simulakra interaksi antara dunia komunikasi digital dan
struktur komunikasi sosial tradisional. Tidak hanya struktur formal yang
didesain semacam organisasi saja yang mengalami transformasi krusial, tetapi
juga secara umum sistem kehidupan manusia mulai dari edukasi, komunitas, dan
politik. Di luar itu semua, satu hal yang seringkali terlupakan adalah mengembalikan
kekuatan kelompok melalui perbaruan ide, nilai-nilai, serta memperluas makna
tanggung jawab sosial. Padahal, dalam keadaan dunia yang sedang menuju
kerentanan, agenda memperkuat kekuatan bersama-sama punya posisi penting.
Mengembalikan platform emansipasi adalah kriteria tak terelakkan dari
organisasi yang tidak sekedar ingin tumbuh untuk, tetapi membantu masa depan
berkelanjutan. Tulisan ini akan membahas salah-satu upaya IPM dalam memaknai
kemunculan kembali Bidang Ipmawati dalam organisasi.
Bidang
Ipmawati merupakan salah-satu dari pembagian aspek pengelolaan kerja organisasi
yang bertujuan untuk “memperkuat dan mendukung penuh pelajar perempuan sebagai
kader kemanusiaan, kebangsaan, keummatan, dan persyarikatan” (Tanfidz Muktamar
IPM 2016). Bidang Ipmawati berfungsi sebagai sarana “pengarusutamaan dan
dukungan emansipatif bagi keterlibatan pelajar perempuan.” Bidang Ipmawati
dihapus dalam sidang Muktamar IPM di Jakarta tahun 2014, dan dikembalikan
melalui lokakarya dan disahkan melalui rapat sidang komisi B Muktamar
(pengesahan dilakukan melalui mekanisme komisi). Penghapusan bidang Ipmawati
pada tahun 2014 membawa dampak besar bagi struktur kerja dan pengelolaan
program responsif gender di IPM. Selama satu periode (2014-2016), program
responsif gender tidak mampu ditangani oleh bidang-bidang lain. Penghapusan
bidang Ipmawati melalui argumen bahwa program responsif gender dan isu
perempuan dapat dikelola oleh Bidang
Advokasi, dan Bidang Kajian Dakwah Islam tidak terbukti. Penyebabnya sebenarnya
sudah jelas diawal, dan sesungguhnya sangat sederhana tanpa perlu
dipertimbangkan secara mendalam. Dua bidang tersebut, yang dianggap akan mampu
mengembangkan program responsif gender, pada dasarnya tidak dibekali dengan
sistem yang cukup. Rekomendasi Muktamar 2014 terkait pembuatan Garis Besar
Panduan Ipmawati juga tidak bisa dilakukan. Selain itu, anomali rekomendasi
supaya bidang Ipmawati dimasukkan ke dalam Tanfidz 2014 tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
Pengelolaan
program responsif gender tidak bisa dilakukan sekedar rekomendasi, pengalihan
kerja, atau pembuatan panduan kebijakan. Program responsif gender berkaitan
dengan keseriusan dan komitmen berkelanjutan. Percobaan pada Muktamar 2014
jelas merupakan sebuah pelajaran berharga bagi IPM untuk melakukan analisa
mendalam sebelum memutuskan bagaimana mengakhiri program emansipatorisnya
sendiri. Menimbang resiko, menciptakan kemungkinan penyelesaian yang mencapai
dampak di masa depan, serta memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk mempertajam
keputusan. Tidak ada jalan untuk mensukseskan sebuah keputusan yang terlanjur
kurang maksimal. Semua harus dipelajari dari awal, menemukan penyebab,
mendalami informasi-informasi baru, dan merefleksikan visi organisasi secara
tepat dengan memperluas cakupan tanggung jawab sosial.
Dampak
penghapusan bidang Ipmawati benar-benar mencakup seluruh program responsif
gender IPM wilayah yang hanya menyentuh angka 6 hingga 7% (dua dari total 29
pengurus wilayah IPM—yang mengikuti lokakarya—yang melakukan program responsif gender).
Muktamar IPM tahun 2010, menggambarkan bidang Ipmawati sebagai bidang
“pemberdayaan dan optimalisasi peran kader putri IPM dalam beraktualisasi di
ikatan dengan mengembangkan isu-isu tentang keperempuan” (Tanfidz Muktamar IPM
2010). Bidang Ipmawati secara spesifik bertanggungjawab atas program responsif
gender, “..respon terhadap permasalahan pelajar putri serta permasalahan
perempuan pada umumnya.” Penghapusan bidang Ipmawati benar-benar menjadi
tindakan terburu-buru, dan sebenarnya secara substantif keliru karena
mengembalikan sekian perkembangan bidang hingga ke titik nol. Bidang Ipmawati
hampir mencapai pematangan seandainya Muktamar 2014 tidak menghapus bidang
Ipmawati. Kerugian yang dialami oleh IPM benar-benar menyangkut pengulangan
kerja intelektual belasan tahun.
Pada
tahun 2000, representasi partisipasi pelajar perempuan baik sebagai fasilitator
atau partisipan kegiatan IPM tingkat Nasional belum sebanyak pasca tahun 2008
dan menguat pada tahun 2010 (Lih, Puspitarini, 2016). Apa yang diperoleh oleh
IPM tahun 2014 dengan tingginya angka partisipasi pelajar perempuan dalam
organisasi sesungguhnya adalah hasil proses panjang empatbelas tahun. Mengapus
bidang Ipmawati adalah problem serius. Ahmad Sarkawi (2014)[1], ketua Bidang Ipmawati PP
IPM periode 2008-2010 melakukan pemetaan bagus mengenai proses stereotip
pembagian posisi pengurus IPM.
Tabel 1
Pembagian Struktur IPM
Berdasarkan Gender Periode 2008- 2010 (Sarkawi,
2014)
Selama
rentang tahun 2008 hingga 2010, jabatan struktural ketua umum untuk aktivis
perempuan mencapai angka 22%. Angka itu tentu saja bisa bermakna dua hal.
Pertama, menunjukkan perkembangan awal perkembangan partisipasi pelajar
perempuan dalam mengelola IPM secara
organisasional. Kedua, angka itu menunjukkan rendahnya afirmasi struktur
responsif gender di IPM. Sarkawi memperkuat data itu dengan memperlihatkan
perkembangan partisipasi pelajar perempuan dalam perkaderan Taruna Melati
Utama. Sarkawi menampilkan tabel berikut ini:
Tabel 2
Partisipasi Taruna Melati Utama
(TMU) Berdasarkan Gender (Sarkawi,
2014)
Data di atas menunjukkan perkembangan angka
partisipasi Taruna Melati Utama (TMU) selama delapan tahun. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, pada rentang antara tahun 2007 hingga 2009, partisipasi
Ipmawati menunjukkan perkembangan menarik. TMU tahun 2009 termasuk keberhasilan
tersendiri, terutama jika dibandingkan dengan apa yang terjadi setelah itu. Data
partisipasi pelajar perempuan pada Taruna Melati Utama tahun 2016 berjumlah 33%,
dengan perbandingan gender antara 8 orang perempuan dan 24 orang laki-laki (aktivis
IPM perempuan yang mendaftarkan diri TMU 2014 berjumlah 10 orang, yang diterima
8 orang. Dua peserta TMU perempuan yang tidak lolos lebih disebabkan oleh
alasan syarat usia). Angka persentase partisipasi pada TMU 2014 seharusnya
semakin meningkat jauh dibanding tahun 2011, atau paling tidak bisa mendekati persentase
tahun 2009 yang mencapai angka 66%. Persoalan angka partisipasi semacam ini
lebih terletak secara substansi pada intensitas program responsif gender dan
komitmen terhadap kesempatan edukasi pelajar perempuan secara menyeluruh. Isu
pelajar perempuan juga harus dikelola secara organisatoris, dan tidak sekedar
disusupkan secara kurang taktis.
Angka
partisipasi aktivis perempuan di IPM menjadi representasi seberapa
emansipatoris sistem organisasi IPM. Klaim bahwa IPM telah berhasil memperbaiki
distribusi isu responsif gender, dan klaim tanpa data mengenai kesuksesan IPM
memberi ruang politik bagi pelajar perempuan sebenarnya berasal dari kesimpulan
mentah atas jumlah pelajar perempuan yang menjadi anggota IPM. Penyebab mengapa
jumlah partisipasi pelajar perempuan dalam IPM yang mencapai angka proporsional
dengan pelajar laki-laki lebih disebabkan oleh fenomena demografi daripada
afirmasi politik IPM terhadap program dan sistemnya sendiri. Dengan
mempertimbangkan bahwa proporsi jumlah kelompok muda usia produktif antara
gender perempuan dan gender laki-laki di Indonesia sebesar 50:50, maka wajar
jika keterlibatan perempuan dalam IPM cukup tinggi sejak tahun 2014. Sewaktu
sidang komisi di Muktamar IPM 2016, dalih bahwa jumlah aktivis perempuan di IPM
“cukup tinggi” sama sekali bukan petunjuk yang berguna tentang keberhasilan
inisiasi emansipasi dalam sistem IPM. Apalagi jika dihubungkan dengan seberapa
tinggi program responsif gender yang dilakukan oleh IPM baik tingkat pusat
hingga ke Daerah, sama sekali tidak cukup untuk menunjukkan keberhasilan apa
yang disebut secara ganjil sebagai “pemberdayaan pelajar perempuan”.
Platform Emansipasi
Milad
IPM ke-56 harus dirayakan dengan cara yang reflektif. Mensyukuri munculnya
bidang Ipmawati pada Muktamar 2016 adalah suatu cara untuk melanjutkan proses
kerja-kerja emansipatif IPM. Satu hal penting yang harus dicatat bahwa
aksesibilitas organisasi IPM terhadap gender dari tahun ke tahun semakin baik,
meskipun harus bertarung dengan stereotip dan stigma yang juga semakin absurd.
Perkembangan positif semacam ini akan terancam dengan simplikasi bahwa “karena
IPM sudah memiliki banyak aktivis perempuan, maka tidak dibutuhkan lagi bidang
Ipmawati”. Kesimpulan semacam ini mengungkapkan jenis asumsi dan memperumit
fakta yang justru bisa dicerna secara sederhana.
Angka
partisipasi gender perempuan dalam pembagian struktur organisasi tidak
berbanding lurus atau menyatakan politik emansipatoris dan penegasan kehendak
pembelaan utuh IPM. Masalahnya terletak pada kondisi tak terelakkan bahwa pelajar
perempuan bisa menjadi pemimpin formal, tetapi keputusan formal tetap berada di
dalam pengetahuan dan kekuasaan maskulin. Dengan kata lain, seorang aktivis
perempuan harus memaksimalkan kesempatan dan intelektualitasnya hingga lima
kali lipat supaya idenya diterima dalam musyawarah yang cenderung berhasil
dikembangkan mengikuti asumsi maskulin. Alasan kapasitas intelektual selalu
bersembunyi di belakang kondisi semacam itu, dan tanpa sadar menjadi toleransi
atas ketidakseriusan pengembangan program internal IPM berupa fasilitas
pendidikan aktivis perempuan secara internal. Jika aktivis IPM perempuan
dianggap belum memadai untuk mengelola keputusan besar organisasi, maka
jawabannya sangat mudah yakni dengan afirmasi program responsif gender berupa
pendidikan dan komitmen terhadap nilai-nilai keadilan distributif.
___________________________________
Bahan-Bahan
Puspitarini, Dyah, “Meretas
Gender Movement”, Website PP IPM, 2016 http://www.ipm.or.id/2016/11/meretas-gender-movement.html
Sarkawi, Ahmad, “Menyuarakan
Keadilan di Tengah Kebungkaman”, 2014
Tanfidz Muktamar IPM XVII 2010
Tanfidz
Muktamar IPM XIX 2014
Tanfidz
Muktamar IPM XX 2016
Media
Ipmawati 2009-2011, http://kader-kritisberkemajuan.blogspot.co.id
*) Artikel ini dipresentasikan dalam Diskusi Bidang Ipmawati sebagai bagian dari rangkaian Milad IPM ke-56, tanggal 22 Juli 2017 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penulis adalah Fauzan Anwar Sandiah; Personalia PP IPM Periode 2014-2016, pengelola Rumah Baca Komunitas, korespondensi fauzansandiah@gmail.com.