Din Syamsuddin mengapresiasi tema dan materi yang diangkat oleh IPM kali
ini. Dan manari “saya cermati ternyata terjadi dinamika kritis di
kalangan IPM” tuturnya. “Pembangunan Berkelanjutan” tidak terlepas dari
kritik dan otokritik. Akan tetapi, Pembangunan Berkelanjutan sidah
menjadi pilihan dunia. PBB telah menetapkan tujuan-tujuan pembangunan
berkelanjutan yang tertuang dalam dokumen Outcome Document Transforming
Our World: The 2030 Agenda For Sustainable Development. Sebagai
kelanjutan MDGs, SDGs memuat agenda-agenda berisi tentang pengentasan
kebodohan, kemiskinan, kesehatan dan lain-lain.
PBB merasa membutuhkan tokoh agama untuk bergabung di dalamnya. Tohoh
agama ini diharapkan mampu memberikan “Paradigma Etik” pada program
pembangunan berkelanjutan. Terlepas dengan pembangunan dan kapitalisme.
Teori pembangunan ini mengalami kritik dan perkembangan. Pembangunan
yang tidak boleh merusak. Sebalinya, pembangunan harus menguntungkan
masa depan. Kekayaan alam saat ini tidak boleh dihabisi dengan kata lain
pembangunan harus disertai dengan pemarataan (sustainable development
with equity).
Dalam buku “Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan yang
Bermakna”, Berkemajuan menyiratkan adanya keberlangsungan, dan bahkan
progress, sebagai perwujudan dari usaha yang terus menerus untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang bermakna (sustainable
development with meaning). Pembangunan harus disertai dengan meaning.
Bukan pembangunan yang kapitalistik. Jadi saya usul pada tema Konpiwil
ini ditambah “Pembangunan Berkelanjutan yang Bermakna”. Sehingga, mampu
menciptakan peradaban ke arah kebaikan. Bukan ke lingkaran setan, tetapi
ke lingkaran kebaikan.
Ini artinya pembangunan berkelanjutan ini harus didorong dalam upaya
mencegah kerusakan akumulatif, sehingga perlu kontrol kerusakan
akumulatif sebagai gerakan global. Menurut Din Syamsuddin, saat ini kita
tidak bisa hanya bertumpu pada Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia ini,
tetapi memerlukan Deklarasi Tanggung Jawab terhadap dunia. Oleh karena
itu, kader-kader IPM harus memiliki wawasan global. Karena apa yang
terjadi di sekitar kita hari ini memiliki tali-temali dengan
negara-negara di dunia yang lain. Sehingga kita jangan selalu menjadi
“Pemadam Kebakaran” atas berbagai persoalan, apalagi menjadi umat yang
mudah terbakar, tetapi kita harus berpikir dan bertindak sistemik.
Mengenai “Mobilisasi Pelajar”, Din Syamsuddin ingin berpesan dua hal.
Pertama, pelaksanaan pembangunan berkelanjutan memerlukan educated
people (insan terdidik) yang menguasai IPTEKS. Kaum terpelajar menjadi
faktor determinan dan perubahan yang efektif. Keterpelajaran, ilmu
pengetahuanm Braind Power (Kekuatan Pikiran) harus menjadi kekuatan
sebuah kelompok. Oleh karena itu, sebelum dimobilisasi diperlukan
optimalisasi terlebih dahulu. Sehingga IPM mampu menjadi kekuatan
penentu perubahan sosial. Peran keterpelajaran Muhammadiyah harus
ditingkatkan dimulai dengan mobilisasi potensi pelajar Muhammadiyah.
Kedua, mobilisasi pelajar Muhammadiyah harus dirumuskan pada Muktamar,
sehingga ada peran imperatif. Din Syamsuddin menegaskan dengan
memberikan testimoni “Masa depan Muhammadiyah, sangat ditentukan
ketersediaan kader-kadernya”. Lalu Din memberikan benang merah,
mobilisasi yang dapat dilakukan IPM dan Muhammadiyah hari ini adalah
harus disiapkan bentul sumberdaya kader yang tangguh untuk berperan di
Muhammadiyah, dan juga politik. Ini membutuhkan kerja-kerja strategis
dan sistematis.
Kembali ke pembangunan berkelanjutan. Menurut Din Syamsuddin pembangunan
bukanlah berangkat dari ketiadaan atau NOL, tetapi pembangunan
berangkat dari sesuatu yang ada, yaitu potensi. Potensi inilah yang
perlu dimobilisasi dengan baik. Dan yang paling tepat adalah dilakukan
dalam bidang pendidikan.