Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Menjelang KONPIWIL dan agenda taruna melati utama, beberapa rekan dari PP IPM; Fauzan, Zulfikar, dan Teguh, beserta dua pegiat LaPSI; Uswah, dan Sadidah, terlibat dalam diskusi mengenai gerakan perdamaian. Diskusi tersebut tentu saja dilakukan dalam rangka memperkuat agenda-agenda gerakan IPM dalam dinamika praktis yang tengah terjadi di dunia pendidikan semacam; tawuran pelajar, bullying, diskriminasi, serta dalam rangka mengasah dua pendekatan baru yang tengah digunakan yakni; Appreciative Inquiry (AI) dan pendekatan ekologi. Meskipun, pendekatan yang terakhir baru saja muncul dari beberapa diskusi terbatas serta diskusi grup terfokus.
Menjelang KONPIWIL dan agenda taruna melati utama, beberapa rekan dari PP IPM; Fauzan, Zulfikar, dan Teguh, beserta dua pegiat LaPSI; Uswah, dan Sadidah, terlibat dalam diskusi mengenai gerakan perdamaian. Diskusi tersebut tentu saja dilakukan dalam rangka memperkuat agenda-agenda gerakan IPM dalam dinamika praktis yang tengah terjadi di dunia pendidikan semacam; tawuran pelajar, bullying, diskriminasi, serta dalam rangka mengasah dua pendekatan baru yang tengah digunakan yakni; Appreciative Inquiry (AI) dan pendekatan ekologi. Meskipun, pendekatan yang terakhir baru saja muncul dari beberapa diskusi terbatas serta diskusi grup terfokus.
Persepsi
soal Kekerasan
Bicara soal gerakan
perdamaian, pada satu sisi problematis. Alasannya ialah bahwa pembahasan
tentang perdamaian, selalu diawali oleh anomali sosial. Tak berhenti di situ,
“penting sekali bagi setiap gerakan perdamaian untuk merefleksikan hal-hal fundamental
soal kekerasan, khususnya konflik” kata Teguh. Menurutnya, penting untuk
merefleksikan di mana posisi konflik dan perdamaian secara utuh. Misalnya
apakah perdamaian dan konflik itu saling meniscayakan?. Pertanyaan itu datang
dari refleksi mendasar yang mempengaruhi implikasi-implikasi filosofis maupun
praksis. “Kita harus memahami ini supaya gerak praksisnya lebih fleksibel,
artinya nanti mempengaruhi daya-tahan pegiatnya masing-masing”.
Pendekatan
ekologis
Sejak tahun 1997,
percobaan pendekatan ekologi dalam mengurai persoalan kekerasan di dunia
pendidikan mulai digunakan. Pendekatan ekologi menyatakan bahwa kekerasan di
dalam dunia pendidikan merupakan manifestasi dari kompleksitas relasional yang
disekuilibrium antara manusia dengan manusia, serta antara manusia dengan alam.
Pendekatan ini pada umumnya digunakan dengan melibatkan ekosistem di dalam
sekolah sebagai komunitas yang integral. Partisipan pendidikan, kepala sekolah,
guru, pegawai sekolah, satpam, dan orangtua berada dalam rantai komunitas yang
saling mempengaruhi. Pendekatan ekologi menggunakan relasi-relasi ini sebagai
cara untuk mendekati akar (genealogi) dan riak (rhizomatik) kekerasan.
Kelebihan pendekatan
ekologi karena peka terhadap—tidak hanya pada genealogi, tetapi juga pada relasi
rhizomatik dari kekerasan. Artinya selama ini analisis genealogis yang selalu
atomistik, “kembali pada diri masing-masing” yang terlalu deterministik
terhadap proses kekerasan (being violence),
menjadi begitu lentur untuk melihat bagaimana sebenarnya kekerasan terjadi, dan
cara yang tepat untuk mengeremnya. Pendekatan ekologi yang mengakomodir relasi
rhizomatik misalnya melihat bahwa kekerasan dan konflik terjadi bersamaan
dengan menghilangnya empati terhadap alam, yang disebut sebagai proses objektivasi;
menjadikan segala sesuatu yang eksternal menjadi asing. Hal ini terlihat dari
berjaraknya pendidikan dan pengajaran, kuatnya model pendidikan berbasis reward and punisment system, serta
apresiasi seni serta sastra yang hilang dari sekolah.
Kekerasan dan jaringan
rhizomatik juga direpresentasikan dari berkurangnya otonomi relasional antara
pendidik dan partisipan pendidik. Agenda perdamaian seperti; menghentikan
diskriminasi, mengurangi bias gender, serta kekerasan fisik dianggap begitu
sulit sebab hal-hal itu seakan menyerap menjadi bagian dari ‘habitus’. Seorang
peserta diskusi mengatakan, “bullying itu
kadang dianggap biasa, apalagi obrolan-obrolan yang bias gender..itu paling
sering..dalihnya, itu sudah kebiasaan. Kalau di grup WA atau obrolan langsung,
ada bullying itu dianggap bikin rame dan mengikat persaudaraan, padahal kan
tidak begitu..kita kurang merefleksikannya makanya terkesan telah menjadi
kebiasaan”. Kekhasan pendekatan ekologi dengan analisa rhizomatik akan membantu
menguraikan hal-hal rumit semacam ini.
Bagaimana
Menguatkan Gerakan Perdamaian?
Ada dua fakta menarik
yang sebenarnya telah menjadi kecenderungan akhir-akhir ini, yakni pemanfaatan
kebiasaan lokal untuk merekonstruksi kebiasaan baru, serta penggunaan model
pendidikan partisipatoris dan apresiatif dalam setiap setting pendidikan perdamaian. Sewaktu saya bertanya kepada Defit,
“dalam aktivitas apakah orangtua begitu antusias mendorong anaknya selama
rangkaian kegiatan peace-santren?”.
Menurut Defit, pada aktivitas tahfidz orangtua begitu kolaboratif dan antusias.
Artinya penting sekali bagi disain pendidikan perdamaian untuk memperhatikan
aktivitas-aktivitas yang memunculkan minat tinggi dari orangtua.
Aktivitas-aktivitas seperti ini memungkinkan kolaborasi yang maksimal dari
orangtua. Selain itu, juga perlu memperhatikan aktivitas pendidikan perdamaian
seperti yang apa yang didukung secara maksimal oleh orangtua maupun partisipan
pendidikan yang pada umumnya berusia 12-17 tahun. Hal ini akan memperkuat
dukungan stakeholder dalam membantu proses pendidikan perdamaian.
Bersambung..