Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Matahari menembus langit dengan awan yang hanya bergaris tipis-tipis saja. Siang itu, saya harus berangkat ke Palembang. Seperti biasa, saya berharap badan pesawat tetap kuat menahan derajat panas ketika terbang berjarak empatribu kaki dari tanah. Di satu sisi, sebenarnya ada perasaan senang meninggalkan kota Jogja yang satu tahun belakangan ini mungkin saja akan segera mendeklarasikan diri sebagai kota seribu hotel, dan menuju Palembang membawa proses yang—bersama tim fasilitator lain siapkan untuk PKPTMU.
Siang yang terik dan macetnya
kota Jogja menemani saya bersama teman-teman terbang ke Palembang. Kurang lebih
empat bulan, tim fasilitator yang terdiri atas Mutmainnah, Arifah, Zulfikar,
Kak Wiek, Azaki, Teguh, Huda, dan saya mempersiapkan Pelatihan Kader Paripurna
Taruna Melati Utama (PKP TMU, selanjutnya saya singkat TMU) dengan beberapa
proses penting.
Kepanitiaan
Lokal yang Powerfull
Selalu ada sisi lain dari
kepanitiaan lokal yang penting untuk dicatat. TMU di Palembang dibantu oleh
panitia lokal yang berasal dari PW IPM Sumsel, beberapa PD IPM, dan PR IPM. PP
IPM dibantu mempersiapkan teknis pelaksanaan yang luar biasa dari panitia
lokal, termasuk tuan rumah Stikes Muhammadiyah serta PW Muhammadiyah Sumsel.
Sedikit cerita, siang hari pada
tanggal 25 Januari, empat tim fasilitator sudah tiba di lokasi TMU yakni,
Zulfikar, Muthmainnah, Arifah, dan saya sendiri. kami dijemput dari Bandara
oleh Dimas, Ketua Umum PW IPM Sumsel. Satu jam setiba di penginapan Stikes
Muhammadiyah kami dibawakan pempek oleh Alex dengan jumlah yang tidak mungkin
dihabiskan oleh empat orang. Saya dan Zulfikar hanya bisa menatap varian-varian
pempek dan berbagai olahannya termasuk otak-otak dengan tertawa terbahak-bahak.
Setelah itu kami melakukan ramah-tamah dengan PWM dan Stikes Muhammadiyah pada
sore hari. Malamnya kami mengadakan ramah-ramah antara PW IPM Sumsel, Panitia Lokal,
Peserta, dan Tim Fasilitator yang di-handle
oleh PP IPM.
Selama kurang lebih seminggu
baik peserta maupun tim fasilitator dibantu untuk menyukseskan kegiatan. Ya,
pada umumnya, setahu saya kekuatan panitia lokal adalah kunci dari proses
kegiatan apapun, termasuk pelatihan. Kerjasama mereka membantu kegiatan ini
bekerja lebih maksimal.
Soal
Regenerasi dan Kuota Berbasis Gender
Beberapa hari setelah
pengumuman peserta TMU dipublikasikan di Website PP IPM, Tim Fasilitator
memperoleh sejumlah pertanyaan yang dilontarkan pada saat Konpiwil di Pucang,
Surabaya. Beberapa pertanyaan itu berkaitan dengan proses seleksi peserta, dan
orientasi TMU, serta kemungkinan diadakan TMU sesi II untuk memfasilitasi peminat
TMU yang tinggi dari setiap provinsi. Perlu dicatat, tidak semua jawaban
pertanyaan itu dapat dijawab tim fasilitator ketika itu. Ada banyak hal yang
harus dikerjakan segera, dan tidak ada waktu untuk memberi respon sesegera
mungkin. Meski begitu, secara umum proses seleksi peserta TMU berjalan atas dua
prinsip utama, pertama adalah pertimbangan regenerasi. Tidak dipungkiri,
peminat TMU tahun 2016 ini tidak sedikit, padahal sebagaimana idealnya format
pelatihan, partisipannya tidak mungkin dalam kelompok besar. Maksimal 31
partisipan yang dapat diterima oleh tim fasilitator, ini berkaitan dengan
pertimbangan pedagogik. Jumlah 31 partisipan sebenarnya sudah termasuk besar. Tentu
saja pertimbangannya tidak sesederhana itu, terjadi beragam diskusi dalam
proses seleksi peserta, termasuk penilaian terhadap paper yang dikirim oleh tiap peserta. Menawarkan ide yang segar, Otentisitas
(no plagiarism), dan kemampuan
mengelola diskursus yang kritis, menjadi pertimbangan terhadap paper peserta.
Kedua, adalah kuota gender. Harus
diakui bahwa IPM adalah organisasi besar, tim fasilitator harus memberikan
kuota gender yang adil. Ipmawati yang mengirimkan berkas mendapatkan kuota
khusus, sebab masa depan IPM sangat bergantung pada kepemimpinan yang
inspiratif dan berdaya-tahan. Jenis kepemimpinan seperti itu hanya mampu
terjadi jika keterlibatan perempuan dalam organisasi diadvokasi oleh segala
pihak. Maka tim Fasilitator mencoba membuka kesempatan kepada Ipmawati masuk ke
dalam proses pembelajaran di TMU. Ide ini pun sebenarnya tidak serta merta
diterima oleh beberapa rekan di fasilitator, tetapi sejumlah argumentasi sangat
mudah untuk menunjukkan bahwa advokasi kuota gender itu penting. Kalau
disaksikan sungguh-sungguh, kepesertaan Ipmawati dalam TMU membuktikan banyak
hal menarik. Mereka mampu menunjukkan dinamika yang baik.
Proses seleksi sebenarnya
merupakan hak prerogatif tim fasilitator dan sama sekali tidak dibiarkan untuk
diintervensi oleh kepentingan apapun.
Proses
Pembelajaran
Pelaksanaan TMU 2016 di
Palembang diadakan sejak tanggal 26 Januari hingga 1 Februari. Waktu ini
termasuk yang paling singkat dalam sejarah TMU. Nampaknya ke depan, TMU harus
dibatasi minimal 9-10 hari sebab beberapa pertimbangan.
Penggunaan
AI
Salah-satu hal menarik dari TMU
kali ini adalah penggunaan Appreciative
Inquiry (AI). Materi AI sebenarnya tidak asing di IPM. Dua tahun belakangan
ini, IPM mencoba menggunakan AI sebagai dasar pengembangan organisasi. Sejak Semiloknas
di Gresik tahun 2014, hingga Muktamar IPM XIX di Jakarta AI menjadi bahan
materi. Sejak saat itu, AI intens menjadi bahan diskusi IPM. Beberapa wilayah
juga mulai belajar mengenal AI di organisasi. TMU di Palembang ini tim
fasilitator meminta bantuan Mas Widi sebagai fasilitator sekaligus pemateri AI.
Proses belajar AI di TMU di-setting berbeda dari praktik mengenal AI
di TM III. Di TMU, praktik AI dimaksudkan sebagai bahan dasar untuk melakukan
riset, meskipun tujuan utamanya adalah memberikan alternatif tool bagi peserta TMU dalam mengelola
diskursus, termasuk menawarkan model pengembangan organisasi. Awalnya alokasi
materi hanya disediakan dua jam dengan pertimbangan sesi lanjutan dapat
dilakukan pada sesi FGD. Meski begitu tampaknya proses pengenalan peserta harus
dielaborasi lebih lama dari waktu yang disediakan. Tetapi hal ini disanggupi
sendiri oleh Mas Widi yang akhirnya memperpanjang jadwalnya hingga dua hari. Mas
Widi mempersiapkan presentasi yang direvisinya setiap sesi pembelajaran
selesai, dan mengajak diskusi tim fasilitator untuk menceritakan proses yang
sudah dilewati, dan meminta saran serta rekomendasi untuk penggunaan waktu. Hari
pertama mas Widi menemani peserta untuk mengeksplorasi bersama soal AI dan praktiknya
untuk riset. Pada hari kedua, mas Widi membantu briefing peserta sebelum praktik riset AI ke lembaga dan gerakan
sosial yakni TB Care Aisyiyah, Walhi, dan Komunitas Peduli Anak Jalanan. Selesai
praktik lapangan riset AI, proses selanjutnya adalah membantu peserta
menyusunnya menjadi laporan semi-riset berbasis AI. Hasil riset tersebut
kemudian dikembangkan sebagai bahan-bahan dasar untuk FGD Isu Muktamar dan RTL.
Isu
dan RTL
Peserta TMU memilih fokus pada
empat isu berikut, (1) Konservasi Ekologi dan Tanggap Kebencanaan, (2) Jihad Literasi,
(3) Sekolah Ramah Anak, (4) Memanfaatkan Bonus Demografi. Masing-masing isu
sudah diolah oleh peserta TMU dan diserahkan kepada tim materi Muktamar yang
kebetulan dikordinatori oleh saya sendiri.