Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Suatu
kali saya termenung ketika membaca kutipan dari KH. Ahmad Dahlan yang ditulis
oleh KRH.Hadjid, seorang muridnya yang termuda.
“Manusia satu sama lain selalu melemparkan pisau cukur,
mempunyai anggapan pasti paling tepat dia melemparkan celaka kepada orang
lain”. ” (Ahmad Dahlan, dalam KRH. Hadjid, 2013: 14)
Ingatan terhadap kutipan tersebut melekat beberapa lama. Saya
merasa begitu bermakna ketika menggambarkan pribadi Ahmad Dahlan sebagai
seorang yang mendorong transformasi sosial “tanpa merugikan” siapapun. Tentu
saja terdapat beberapa alasan untuk menjelaskan mengapa deskripsi itu demikian
penting. Pertama, gagasan transformasi sosial yang “tanpa merugikan” siapapun merupakan
model narasi transformasi sosial dari gerakan sosial kontemporer yang dicirikan
sebagai; sederhana dilakukan dan mudah direplikasi. Muhammadiyah, sebagai
gerakan sosial membuktikan model narasi transformasi sosial tersebut. Dahlan
membangun gerakan Muhammadiyah tanpa disain yang komprehensif, sebab itu banyak
kalangan yang di kemudian hari memberikan penilaian kritis terhadap
Muhammadiyah. Misalnya bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan sosial sejak awal
tidak menguji pendekatan politik dalam proses transformasi sosial.
Seperti yang diketahui secara umum, Muhammadiyah pada tahun
awal berdirinya memang tidak didisain untuk perjuangan politik kekuasaan.
Melainkan sebagai respon terhadap kondisi pendidikan dan kesehatan. Hal itu
seringkali dinilai sebagai sebuah kesalahan dan menjadi penyebab keruntuhan (decline) relasi Muhammadiyah dan
kekuasaan di masa sekarang. Penilaian demikian sebenarnya telah mereduksi
banyak hal yang dapat dipelajari dari Dahlan. Beberapa upaya untuk mengkaji
dimensi pemikiran Dahlan misalnya pada beberapa dasawarsa ini meningkat dalam
rangka membuktikan keterhubungan kecendekiawanan Dahlan dan pemikir Barat. Jadi
tidak sekedar membuktikan pengaruh Muhammad Abduh terhadap model pembaruan dan
transformasi sosial Dahlan. Dalam konteks ini, Dahlan sebagai penggerakan
transformasi sosial menjadi penting untuk dikaji kembali.
Dalam konteks pemikiran penggorganisasian massa, Dahlan
telah memberikan kontribusi yang sangat penting. Tentang urgensitas membangun
gerakan sosial secara perlahan, sederhana, dan mudah dilipatgandakan (replicate). Menjamurnya lembaga
pendidikan Muhammadiyah menjadi salah-satu bukti yang menyatakan kemampuan replicate Muhammadiyah sebagai gerakan
sosial. Persis dalam konteks ini, Dahlan memberikan pelajaran penting tentang
model transformasi sosial yang sederhana dan mudah direplikasi. Lembaga
pendidikan pada masa pendudukan Belanda dan Jepang bukan merupakan suatu hal
yang mudah untuk dilakukan. Partisipasi elit lokal dalam mengapresiasi
pemikiran Dahlan juga merupakan suatu informasi penting tentang bagaimana
kemampuan Dahlan dalam menjalin relasi untuk membangun partisipasi sipil.
Alasan kedua, beberapa waktu ini muncul banyak sekali
istilah untuk menjelaskan mode pemikiran Dahlan. Beberapa istilah itu misalnya
“teologi al-Ma’un”, “teologi al-Ashr” (Azaki Khoiruddin, 2015), “teologi
Mustad’afin” (Sokhi Huda, 2011), “teologi sosialisme Ahmad Dahlan” (Ibnu Tsani,
2009), “teologi sosial” (L. Mustafa, 2014) dan sejumlah istilah lainnya.
Meskipun menggunakan istilah yang berbeda-beda, eksplanasi umumnya bicara soal
integrasi antara praktik ibadah dan transformasi sosial. Misalnya, teologi
Mustad’afin dianggap sebagai bentuk baru dari teologi al-Ma’un yang menjelaskan
dasar asumsi teologi bahwa “praktik ibadah harus langsung terkait dengan
masalah sosial” (Sokhi Huda, 2011). Istilah-istilah itu pada dasarnya hendak
menjelaskan model teologi yang digunakan oleh Dahlan.
Ketiga, banyak hal yang dapat dipelajari dari perjalanan
Dahlan sebagai seorang intelijensia sekaligus pendiri Muhammadiyah, terutama
dalam perihal kemanusiaan. Letak penting deskripsi “yang berjuang tanpa
merugikan” adalah semacam bentuk politik relasi yang akomodatif antara Dahlan
dan berbagai macam individu serta kelompok.
Keempat, makna “yang berjuang tanpa merugikan” menemukan
konteks kritisnya untuk meninjau kembali dialektika gerakan Islam dalam
merespon konteks perjuangan politik kontemporer yang digambarkan oleh Anthony Giddens
sebagai “beyond left and right”.
Gempuran kapitalisme, korporatisme, dan eksploitasi ekologi merupakan tantangan
yang tidak saja mengancam masa depan manusia, juga mengancam relasi yang
rasional antara manusia dan alam, dan tentu saja menjadi bukti tak terelakkan bahwa
manusia gagal menjadi khalifah fi al-ardh.
Dalam konteks demikian, bagaimana gerakan Islam hendak mengembangkan narasi
perlawanannya?. Dahlan meninggalkan suatu warisan yang penting tentang
memperkuat gerakan Islam melalui pergulatan yang reflektif tentang arti penting
membangun identitas ummat Islam sebagai rahmatan
lil alaamin. Sebuah pembentukan identitas yang diawali dengan rekonstruksi
tentang peran penting ummat Islam sebagai komunitas yang ramah terhadap
manusia.
Dahlan mewariskan suatu sikap untuk menciptakan kembali
identitas ummat Islam. Dahlan mengetahui arti penting pembentukan identitas
ummat Islam dan ajaran Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Karena dengan
bertolak dari identitas ini, ummat Islam diajarkan untuk meletakkan
keberpihakan terhadap kelompok tertindas.
Membaca Dahlan dari Al-Ashr dan
Al-Ma’un
Terdapat satu kemiripan tentang arti penting antara Al-Ashr
dan Al-Ma’un. Untuk menemukan satu kemiripan tersebut saya mencoba untuk
membaca kembali hal yang hendak disampaikan oleh dua surat tersebut, serta
mengapa Dahlan menjadikannya sebagai surat yang penting. Dahlan dalam catatan
Hadjid banyak bicara soal makna konsep “Al-Haqq”, “Iman”, “Amal Sholeh”, yang
banyak menjadi pengantar dalam proses pemaknaan hidup Dahlan. Kemiripan antara
Al-Ashar dan Al-Ma’un adalah pada afirmasi soal pentingnya orang beriman
melengkapi ketaatannya kepada Tuhan melalui perbuatan yang bermanfaat di dunia.
Dahlan tampaknya melihat perbuatan baik (amal sholeh) sebagai bagian penting
dari kehidupan seseorang di dunia. Dalam Islam, etika immortalitas jiwa menjadi
jawaban mengapa seorang muslim pertama-tama harus menyakini soal hari
pembalasan, sebab seluruh amalan di dunia akan mendapatkan balasan.
Berdasarkan pada catatan Hadjid, Dahlan mengajarkan Al-Ashr
dan Al-Ma’un dalam rentang waktu yang lama. Al-Ashr sendiri diajarkan oleh
Dahlan kepada para muridnya selama 7 bulan. Hadjid sebagai salah-seorang murid
yang berhasil meringkaskan catatan pengajian Dahlan yang berkaitan dengan
Al-Ashr menguraikan tentang amal sholeh. Entah bagaimana, keterhubungan
epistemologis antara praksis Dahlan dalam kehidupan organisasi dengan membentuk
Muhammadiyah dapat dijelaskan melalui penekakan terhadap konsep amal sholeh.
Dahlan membimbing murid-muridnya untuk memahami arti penting surat Al-Ashr dan
Al-Ma’un. Berkaitan dengan proses itu, Dahlan tidak jarang berkata:
“kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani
mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia
dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan,
memperalat manusia-manusia yang bodoh dan lemah” (KRH. Hadjid, 2013: 28).
Amal Sholeh bagi Dahlan berkaitan erat dengan pembuktian
Iman. Manusia yang disanderai oleh keinginan menguasai benda merupakan pertanda
orang yang mudah sakit dan mudah lemah. Iman membebaskan manusia dari
keterikatannya terhadap benda-benda serta nafsu yang memalingkan. Arti penting
Al-Ashr dan Al-Ma’un masih terus berkaitan dengan cara Dahlan mengolah cara
pandangnya terhadap dunia melalui dua surat tersebut. Al-Ma’un misalnya menjadi
cara Dahlan untuk mengantarkan murid-muridnya untuk memahami arti penting
Ibadah yang tidak bisa dilepaskan dari amal sholeh. Dahlan berkata:
“Banyak juga ummat Islam yang menjalankan amal sholeh tetapi
mementingkan amal yang sunnat, tidak memperhatikan amak yang wajib, seperti
berjihad mengorbankan harta benda dan jiwa..”
Tanpa bermaksud untuk membandingkan, antara surat Al-Ashr
dan Al-Ma’un tampaknya ada suatu kekhususan tertentu yang didapatkan dari
Al-Ashr. Alasannya sederhana, beberapa topik yang dicatat oleh Hadjid banyak
berkaitan langsung dengan isi Al-Ashr. Dari sekian Bab “Pelajaran” yang dicatat
Hadjid, Al-Ashr menjadi topik utama, misalnya; “Al-Ashr”, “Amal Sholeh”,
“Watawa-shau Bil-Haqq”, dan “Watawa-shau Bish-Shabri”. Dahlan sendiri
sebenarnya tidak hanya banyak bicara soal Al-Ashr atau Al-Ma’un, tetapi juga
beberapa surat seperti Al-Qari’ah, Shaf, atau Al-Hadid (Hadjid, 2013).
Letak penting surat Al-Ashr dan Al-Ma’un ialah pada topiknya
yang mengeksplorasi soal relasi niscaya antara keimanan dan amal sholeh. Dalam
konteks pemikiran Islam di Indonesia awal abad 20, relasi niscaya antara iman
dan amal sholeh merupakan suatu yang tidak umum. Bahkan Hadjid sendiri mengakui
terjadi kegemparan ketika ide-ide Dahlan yang banyak menyerap Muhammad Abduh
dan Abu Dzar tersebut menjadi tema-tema dalam ceramah Dahlan. Pada masa itu,
pemikiran Islam masuk pada fase diskursus soal tasawuf, sebagai suatu respon
yang panjang dari kekecewaan politik dan Islam sebagai gerakan sosial. Fase
tersebut dalam pemikiran Islam bertahan cukup lama, terutama saat Eropa dan
Amerika memulai ekonomi politik ekspansif di negara-negara dunia ketiga,
termasuk Asia. Maka bukan suatu hal yang ganjil jika pemikiran Dahlan dari sisi
teologis terhubung langsung dengan konteks dinamika kehidupan sehari-hari.
Persoalan amal sholeh, merupakan penjelas mengapa Dahlan dan
gerakan Muhammadiyahnya mampu direplikasi. Surat Al-Ashr dan Al-Ma’un yang
banyak bicara soal amal sholeh menyatakan bahwa beramal di dunia dalam rangka
mencapai bentuk manusia sempurna itu sebenarnya mudah. Modal transformasi
sosial Islam yang diajarkan oleh Dahlan bercirikan mudah, sederhana, dan mampu
direplikasi. Peran penting surat Al-Ashr dan Al-Ma’un berada di sini.
Daftar Pustaka
KRH. Hadjid, Pelajaran
KHA. Ahmad Dahlan; 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an,
Yogyakarta: MPI PP Muhammadiyah, 2013.
*Tulisan
ini merupakan bahan diskusi Komunitas Profetik IMM Fisipol UMY, 7 Oktober 2015. Penulis berkeliaran di twitterland dengan akun @FauAnwar