Ada sebuah
adagium yang menarik ketika kita mencermati perjalanan gerakan IPM/IRM yang
berkaitan dengan keterlibatan dan kuota perempuan yang menduduki dalam jajaran
pimpinan wilayah dan pusat. Kala itu saya yang masih duduk di pimpinan daerah
berpikir bahwa keterlibatan kami (kaum hawa-red) hanya berkutat pada hitungan
jumlah konsumsi dan terhabiskan agenda pada pengajian keputrian dari masjid
yang satu ke masjid yang lain, maklum saya saat itu terekrut dari IRM ranting
remaja masjid. Genaplah sudah saat itu ketika saya masuk dalam bidang Irmawati
yang anggota bidang dan ketuanya selalu berkonflik karena persoalan domestik.
Miris…..
Oase di atas
adalah sekelumit gambaran dan juga pengalaman dari seorang kader inthilan yang barangkali tidak ada
pengaruhnya sama sekali, hanyalah gurauan hati kala itu. Namun kejadian seperti
ini, juga dialami oleh beberapa irmawati yang aktif di IRM dan sekarang IPM.
Persoalan yang sangat rentan dengan determinasi status dan jenis kelamin.
Berbicara mengenai
perempuan secara luas tentunya juga akan membawa nilai dan jiwa ipmawati
sebagai salah satu kompenen geraknya. Persoalan ini tidak bisa dipisahkan,
namun menjadi sebuah kesatuan gerak. Mempersoalkan perempuan artinya juga
mempersoalkan ipmawati dan IPM secara keseluruhan. Ada agenda besar yang
mestinya harus diselesaikan dan menjadikan peran IPM sebagai sebuah social movement betul-betul diharapkan
dan dapat memberikan solusi kepada basis gerakan dan masyarakat. Ada keinginan
yang besar dari dalam diri saya untuk menuliskan beberapa catatan mengenai
sejarah kemunculan kembali bidang ipmawati dan juga arahan serta agenda besar
gerakan perempuan dan gender mainstream
dalam IPM.
PERSOALAN KUOTA
Meski hal ini
bukanlah sebuah persoalan yang besar, nyatanya dalam survey yang dibuat PP IRM
c.q bidang Irmawati pada tahun 2006, jumlah pimpinan pada level daerah sampai
wilayah, sebagian besar didominasi oleh laki-laki. Data ini cukup menyentak dan
menjadi salah satu persoalan, termasuk jabatan yang sering dipegang oleh
perempuan/irmawati adalah bendahara dan sekretaris. Dalam persoalan kuota ini,
banyak hal yang semestinya menjadi refleksi kita bersama, yaitu persoalan
keterwakilan, point of view, edukasi,
obyektifitas, sampai pada persoalan decision
maker yang harus diputuskan dengan mengedepankan asas persamaan.
Memperbincangkan
etika keterwakilan, sebenarnya dalam gender
mainstreaming yang dikedepankan adalah issue
lintas gender, artinya tidak ada pemisahan pembicaraan pada determinasi jenis
kelamin, namun semua pihak baik laki-laki dan perempuan mempunyai kebutuhan
yang sama. Praktisnya asalkan issue
kesetaraan sudah menjadi mainstreaming
maka tanpa keterwakilan penuh bisa saja terus berlanjut. Namun faktanya
keterwakilan atau kuota tidak saja sebatas pada pemahaman issue bersama, lebih dari itu bahwa bentuk adanya perempuan cukup
signifikan memberikan arus pemikiran yang lebih komprehensif atas pengambilan
sebuah keputusan bersama, terutama keputusan organisasi.
Dalam Development as Freedom, peraih Nobel Amatya
Sen menyebutkan bahwa karya klasik Mary Wollstonecraft menggambarkan perbedaan
antara perempuan sebagai penerima proses pembangunan (yang dikenal sebagai
pendekatan “kesejahteraan” untuk
meningkatkan status perempuan) dan perempuan sebagai wakil (agen) pembangunan, sebagai penggerak dan
pembentuk perubahan yang pada akhirnya memberi manfaat bagi laki-laki dan
anak-anak (yang dikenal sebagai pendekatan perwakilan – agency approach). Sen melihat kembali bahwa jauh sebelum revolusi
yang dilakukan Wollstonecraft, saat berada di pengasingan di Paris, revolusi
Perancis sedang bergolak dan menyebabkan terasingnya perempuan, karena
perubahan politik melanda Eropa pada saat itu. Ia menyebutkan ide abad
pertengahan mengenai wakil dan penerima :
“….peran
seseorang sebagai ‘wakil’ secara fundamental berbeda perannya sebagai
‘penerima’. Kenyataan menunjukkan bahwa wakil mungkin harus melihat dirinya
sendiri sebagai penerima, dan hal ini tidak akan mengubah perasaan dan tanggung
jawabnya, sesuatu yang melekat dalam diri seseorang. Dengan demikian kita
(perempuan dan laki-laki) harus bertanggung jawab untuk bertindak atau tidak.
Itulah yang membedakannya.”
Demikian pula
yang terjadi dalam organisasi otonom IPM, bahwa persoalan kuota dan jumlah
pimpinan yang tidak responsive gender
sudah semestinya kita tutup pembicaraan tersebut, dan hendaknya menjadi sebuah
gerakan yang massif untuk senantiasa menyadarkan issue tersebut pada berbagai level pimpinan sampai pada pimpinan
ranting sekalipun. Keterlibatan perempuan secara komprehensif tentunya membuat
sebuah gerakan yang lebih baik dan mempunyai andil yang besar dalam
menyumbangkan ide yang solutif.
CATATAN BIDANG IPMAWATI
Sebenarnya saya
tidak terlalu tertarik untuk menuliskan metamorphosis kemunculan bidang
irmawati/ipmawati kembali pasca muktamar IRM tahun 2000 di Jakarta. Namun,
semangat yang ingin saya sampaikan adalah semangat pelurusan agenda utama
bidang tersebut dan arahan strategis yang lebih praktis. Harapan saya, catatan
kecil ini kelak dapat menjadi salah satu instrument gerakan kita yang lebih
praksis untuk mencapai visi besar perjuangan IPM dan Muhammadiyah.
Muncul sebuah
keresahan pada beberapa kegiatan sekelas pimpinan pusat saat itu yang ternyata
jumlah peserta irmawati sangat sedikit, bahkan tidak ada separuhnya. Sebut saja
pada periode 2002-2004, kegiatan (yang kebetulan saya ikuti) Pelatihan Da’i
Nasional, Taruna Melati Utama, Lokakarya Materi Muktamar, Pelatihan PIP dan
beberapa kegiatan yang lain. Dan lengkaplah asumsi saya bahwa tidak banyak irmawati
yang terlibat dalam kegiatan tersebut, terlebih sebagai fasilitator. Ini
menjadi sebuah pertanyaan dalam benak saya dan cukup mengganggu. Keresahan ini
memuncak ketika kita korelasikan salah satu bagian dari social movement, yang kala itu menjadi icon IRM, adalah mulai muncul gelombang gender mainstreaming dan pelibatan dengan sangat optimal perempuan
tanpa pembedaan determinasi.
Muncul kemudian
bidang irmawati pada arena Muktamar IRM di Medan, dan akhirnya menjadi sebuah
(saya melihat) gerakan baru. Gerakan yang tidak hanya berhenti pada sebuah
wacana saja tapi gerakan yang pastinya sangat mengena pada akar rumput basis.
Banyak yang kemudian menilai bahwa IRM kembali pada gerakkan tradisi dan sangat
kuno ketika memunculkan kembali bidang tersebut. Saya tidak mengatakan
demikian, namun saat itu saya ingin mengajak pada sebuah perbandingan yang bisa
dijadikan komparasi. Gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tengah media
usianya berkibar di Indonesia memunculkan kelompok ideologis GERWANI (Gerakan
Wanita Indonesia) yang mempunyai arahan strategis untuk menggarap issue perempuan demikian juga perekrutan
pada basis perempuan yang secara psikologis sangat mudah untuk dipengaruhi dan
dijadikan agent sebuah gerakan. Demikian
juga berbagai organisasi dan partai sekelas gerakan sosialis sekalipun tetap
akan mengembangkan komunitas perempuan di dalamnya. Bahkan tidak jauh,
Muhammadiyah, akhirnya membentuk ‘Aisyiyah adalah sebagai pembentukan dan
penguatan gerakan Muhammadiyah pada basis perempuan. Dan saat ini, sekalipun
kita dihadapkan pada jumlah perempuan yang kian banyak, issue perempuan tidak hanya menjadi konsumsi terbatas kaum hawa
saja, namun sudah semestinya menjadi arus dalam pemikiran dan dataran konsep
sebuah gerakan. Sedangkan jika dikaitkan dari fragmen ideologis, gender movement bisa dikaitkan dengan
sebuah bagian dari proses kaderisasi.
Pada awalnya
kemunculan bidang ini jelas menimbulkan berbagai persoalan dan pertanyaan akan
arahan kerja dan juga model gerakan yang dilakukan. Adanya lokakarya Irmawati
menjadi sebuah penengah dan forum bersama untuk membahas diskursus bidang
irmawati, termasuk beberapa Pimpinan Wilayah yang tidak menginginkan adanya
bidang tersebut, meskipun adanya bidang Irmawati adalah salah satu hasil dari
Muktamar dimana kedudukan dan sifatnya harus dilaksanakan. Kala itu, tercatat
sekitar 21 Pimpinan Wilayah hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut
sebagai peserta. Salah satu hasilnya adalah dirumuskan arahan kerja bidang
Irmawati, penyamaan arus gender
mainstreaming sebagai salah satu icon
gerakan dan juga adanya capacity building
responsive untuk irmawati yang lebih mengarah pada pemberdayaan perempuan.
Salah satu yang menjadi fokusnya adalah pelatihan gender, gerakan sadar
kesehatan reproduksi dan advokasi perempuan.
Paradigma baru
dari bidang Irmawati dan sekarang ipmawati, bukan memunculkan yang menjadi
artefak pada bidang ipmawati, seperti diksusti (pendidikan khusus ipmawati)
atau yang lainnya, namun juga tidak memunculkan arus baru yang terlalu
meng-global sehingga jauh terlepas dari akar budaya ketimuran dan jauh dari
basis gerakan, yaitu pelajar. Tidak serta merta menghilangkan kesuksesan
program kerja bidang ipmawati dimasa lampau, namun jika dinilai kegiatan
tersebut masih relevan, maka ada baiknya jika ada pengkajian ulang, sehingga
lebih disesuaikan dengan need assessment
pelajar saat ini. Sekalipun kemunculan bidang ini juga tidak membatasi diri
hanya untuk ipmawati saja, namun juga ipmawan. Sekali lagi, bidang ini
mempunyai tujuan khusus untuk mengangkat issue
perempuan dan menjadikannya sebuah sebuah icon
gerakan, sehingga siapapun dia berhak untuk berada dalam bidang ini.
Ketika
membincangkan bidang ipmawati kawan, saya mengajak agar kita semua tidak
berpikir terlalu skeptis, yaitu hanya melihat dari wilayah di pulau Jawa,
namun, kita juga harus memperhatikan wilayah Indonesia yang lain. Artinya,
barangkali di Jawa pembicaraan mengenai bidang ipmawati ataupun issue perempuan bukanlah hal baru,
bahkan sudah jemu. Namun bisa jadi hal ini menjadi menarik untuk perkembangan
IPM di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, ataupun Indonedia timur lainnya.
Sehingga yang sebenarnya tinggal dicari titik temunya hanyalah pada need assessment terhadap issue perempuan yang nantinya akan
diderivasikan dalam bentuk kegiatan praktis.
DISKURSUS GENDER
Mestinya hari
ini kita sudah tidak perlu lagi mempersoalkan gender dalam dataran termonologi
dan epistemologis. Karena sejatinya membahas gender sudah bukan lagi hal yang
asing dan konseptis, namun sangat palikatif, terlebih jika dihadapkan pada
permasalahan kehidupan. Dominasi laki-laki dalam peran public dan domestifikasi perempuan bukanlah hal yang baru, tetapi
sudah berlangsung sepanjang perjalanan sejarah peradaban umat manusia. Oleh
karena itu tidak heran kalau kemudian dianggap sebagai sesuatu yang sudah
bersifat alami atau kodrati. Hal ini berbeda dengan anggapan kaum feminisme.
Dalam feminisme, konsep seks dibedakan dengan gender. Perbedaan-perbedaan
biologis dan fisiologis adalah perbedaan seks, sedangkan yang menyangkut
fungsi, peran, hak dan kewajiban adalah konsep gender. Yang kodrati, alami,
hanya seks, bukan gender. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, gender
adalah hasil konstruksi sosial-kultural sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, sementara
laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa, dan lain-lain adalah konsep
gender hasil konstruksi sosial dan cultural,
bukan kodrati atau alami.
Konstruksi
gender dalam perjalanan sejarah peradaban umat manusia dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor: sosial, cultural,
ekonomi, politik, termasuk penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Feminisme
mengkaji secara kritis berbagai macam konstruksi gender yang ada dan berkembang
di masyarakat dengan menggunakan paradigma kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan.
Seperti dikutip
dari “Kesetaraan gender dalam Al Qur’an”
karya Prof. Dr. Yunahar Ilyas, L.c disebutkan bahwa dalam beberapa ayat Al-Qur’an
masalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ini mendapat penegasan.
Secara umum Allah SWT menyatakan dalam QS. Al Hujarat: 13 bahwa semua manusia,
tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan-perbedaan yang
bersifat given lainnya, mempunyai
status yang sama di sisi Allah SWT. Mulia dan tidak mulianya mereka di sisi Allah
SWT ditentukan oleh ketakwaannya, yaitu sebuah prestasi yang dapat diusahakan.
Bahwa dalam QS. Al-Ahzab: 33-35 disebutkan kesetaraan laki-laki dan perempuan
yaitu: “Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan
yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah SWT, Allah
SWT telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar.”
Prof. Dr.
Yunahar Ilyas juga menyampaikan bahwa sekalipun secara normative Al-Qur’an
memihak kepada kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan, tetapi secara
konstektual Al-Qur’an memang menyatakan adanya kelebihan tertentu kaum
laki-laki atas perempuan. Sepanjang leteratur terhadap tulisan para feminis
Muslim tentang persoalan di atas, yang mereka gugat bukanlah teks-teks suci Al-Qur’an
itu sendiri, tetapi penafsiran para mufasir terhadap teks-teks tersebut, bahkan
dalam beberapa hal dipengaruhi oleh bias laki-laki terhadap perempuan.
Jelas bagi kita
akan kedekatan makna gender yang sebenarnya dengan mengedepankan pemahaman yang
utuh dan komprehensif. Tidak juga dipengaruhi sisi emosional dan biologis
semata, namun lebih kepada pendekatan kesetaraan dalam konteks kehidupan
keseharian.
NEO-GENDERMAINSTREAM, ARAHAN
DAN AGENDA STRATEGIS
Kedepan kita
harus berpikir lebih global dan komplek dalam mengarahkan gerakan perempuan dan
issue kesetaraan di IPM. Ada beberapa
arahan dan agenda yang bisa dijadikan rujukan sehingga tidak lagi ada persoalan
penting dan perlu ada atau tidaknya bidang ini. Namun, kita lebih berpikir
solutif dan praksis sehingga menjadikan bidang ipmawati sebagai sebuah kesatuan
gerak organisasi yang cukup vital.
Adapun agenda strategis tersebut
terimplementasi pada beberapa kegiatan di bawah ini, yaitu:
Pelatihan Teknologi Informasi
Sudah banyak
studi yang menekankan pentingnya akses ke teknologi informasi untuk mengatasi
kesenjangan gender. Banyak organisasi internasional yang menyoroti hal
tersebut. Organisasi memainkan peran cukup penting dalam memanfaatkan
teknologi, seperti internet dengan berbagai kemudahan komunikasi lintas
sektoral, terotorial, dan bahasa, akses teknologi gadget dan lainnya. Wolfgang Reineke dari Bank Dunia melihat bahwa
kelompok-kelompok yang yang peduli pada masalah perempuan kini bisa menggunakan
teknologi tersebut untuk menembus birokrasi dan penghalang hirarkis lainnya
yang menjadi kendala bagi para pembuat keputusan di lembaga-lembaga
tradisional.
Beberapa strategi pelatihan yang
bisa dikembangkan untuk peningkatan kapasitas dan responsive issue gender adalah sebagai berikut:
· Advokasi kekerasan pelajar putri
· Pengembangan dan masifikasi issue
melalui jejaring sosial (facebook, twitter, tagged, dll)
· Kemampuan negosiasi dan retorika
· Pengembangan konstituen
· Kemampuan mengarusutamakan gender/pelatihan sadar gender
· Penggunaan media massa untuk massifikasi gerakan
· Pendidikan politik dan pendidikan pemilih perempuan
· Kesehatan reproduksi remaja
· Sekolah Gender
· Pembuatan Jurnal perempuan
· Pengembangan penelitian yang berkaitan dengan issue perempuan.
· Gerakan Respons issue actual
· Diskusi tematik yang berkaitan dengan issue perempuan yang berkembang
· Pengembangan issue
· Aksi dengan media ataupun aksi turun ke jalan
· Program taktis berkala jangka pendek untuk merespon issue.
Pembentukan Aliansi
Proses membangun aliansi itu
membutuhkan mitra untuk bekerja sama dalam berbagai issue di semua aspek kehidupan. Secara keseluruhan, membangun
aliansi menjadi mekanisme yang efektif untuk:
- Pertukaran
informasi mengenai pengalaman perempuan dalam mengidentifikasi
syarat-syarat yang diperlukan untuk menciptakan hubungan yang
berkelanjutan diantara stakeholder.
- Dialog
antar semua stakeholder untuk
meningkatkan dampak dari partisispasi perempuan dan gender mainstream.
- Membangun
akuntabilitas perempuan di antara berbagai konstituen.
- Membangun
jaringan dengan organisasi perempuan ataupun sayap dari organisasi yang
concern dengan perempuan, ex. KOHATI-HMI, IPPNU, PII, dan lain-lain.
Selanjutnya dilakukan penyamaan issue
dan aktivasi kegiatan massa bersama.
Pembentukan Komunitas
Pembentukan
komunitas ini metupakan follow up dari
berbagai kegiatan di atas. Ada sebuah siklus kaderisasi dan proses pendampingan
setelah kegiatan selesai, yaitu membentuk komunitas sebagai kegiatan
selanjutnya. Tujuan diadakan komunitas ini adalah untuk senantiasa menjaga
kontinyuitas gerakan dan relasi serta keterlibatan agar adanya intesifikasi
pembahasan issue sehingga sesama
anggota komunitas dapat meningkatkan kapasitas bersama. Lebih beragamnya
kapasitas mengindikasikan semakin banyak spesifikasi bidang garapan dan juga
semakin banyak program sebagai solusi dari permaslahan yang bisa diselesaikan.
Beberapa contoh komunitas:
· Komunitas advokasi kekerasan pelajar putri di sekolah
· Komunitas jurnal perempuan
· Komunitas facebooker respon
issue perempuan
· Komunitas kesehatan reporoduksi remaja
· Komunitas peduli gender
Pembagian Peran
Usaha membangun
aliansi, komunitas, dan kerja sama khusus diperlukan untuk mengubah persepsi
yang menyangkut perempuan, terutama dengan menyebarkan informasi partisipasi
perempuan yang kredibel, efektif, dan tidak kalah dengan laki-laki. Semua
perempuan terlebih ipmawati harus mengetahui bahwa ia berperan sebagai pimpinan dan
juga pemimpin, ia harus bergelut dengan tanggung jawab dan mengutamakan
keterlibatan di public. Sebagai
pribadi bahwa perempuan juga akan menjadi isteri, orang tua, dan anak yang
mempunyai tugasnya masing-masing. Manusia, tidak peduli laki-laki memainkan
peran yang berbeda pada saat yang berbeda. Perempuan masih cenderung lebih
menghargai kontribusinya di ruang pribadi dan peran sukarela daripada
aspek-aspek yang terkait dengan lingkup sosial.
Peran media
massa juga menentukan. Diperlukan dialog proaktif dan terus menerus antara
berbagai pihak pemangku kepentingan dan lobi-lobi perempuan. Hal ini tidak
hanya untuk menyoroti permasalahan perempuan saja, tetapi juga untuk meliput issue yang menyangkut ketimpangan
gender.
Dapat
disimpulkan bahwa upaya-upaya di atas masih menempatkan dewasa putri dan remaja
putri (sebagai sasaran IPM) sebagai sasaran. Namun, untuk melangkah ke masalah
biasa gender yang sudah terjadi selama dua millennium, kita tidak boleh
melupakan pengkondisian awal. “Anak
adalah bapak setelah dewasa”, kata penyair Inggris William Wordsworth. Bila
pendidikan perempuan diberikan setelah mereka dirancukan oleh peran perempuan
yang lain -mengurus rumah dan kegiatan ekonomi- maka transformasi peran dan
partisispasi perempuan/ipmawati akan berjalan lambat.
Akhirnya “Harapan
besar bagi saya agar telaah tulisan saya ini sedikit banyak bisa mewakili
jawaban atas kebingungan sebagian besar para ipmawan dan ipmawati yang concern
dengan permasalahan perempuan dan mempunyai semangat yang sama untuk bergerak
di akar rumput serta menjadi contributor
atas perubahan yang terjadi dalam masyarakat local dan global”.
*) Penulis
adalah Diyah Puspitarini, S.Pd. Lahir di Gunungkidul, 19 Januari 1984. Pertama
kali aktif sebagai Ketua Irmawati Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah tahun
2007. Dan sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Nasyiatul Aisyiyah (NA) periode 2016-2020.