Setelah
reformasi
, ide untuk mengembalikan nama IPM kembali bergulir. Perdebatan ini berlangsung dengan sangat intens dalam berbagai forum tertinggi organisasi. Perdebatan tentang perubahan nama ini misalnya muncul dalam Muktamar 2000 di Jakarta, 2006 di Medan dan 2008 di Surakarta. Dan akhirnya pada Muktamar di Surakarta 2008 itulah IRM secara resmi mengembalikan nomenklaturnya menjadi IPM setelah melalui berbagai perdebatan yang cukup panjang.
, ide untuk mengembalikan nama IPM kembali bergulir. Perdebatan ini berlangsung dengan sangat intens dalam berbagai forum tertinggi organisasi. Perdebatan tentang perubahan nama ini misalnya muncul dalam Muktamar 2000 di Jakarta, 2006 di Medan dan 2008 di Surakarta. Dan akhirnya pada Muktamar di Surakarta 2008 itulah IRM secara resmi mengembalikan nomenklaturnya menjadi IPM setelah melalui berbagai perdebatan yang cukup panjang.
Setidaknya ada
dua hal yang mendorong gagasan perubahan nomenklatur ini. Pertama, Reformasi yang memberikan kembali kebebasan bagi berbagai
elemen masyarakat untuk menegaskan kembali identitas dirinya. Pada zaman orde
baru, semua organisasi terkungkung oleh azas tunggal, yang mengharuskan semua
organisasi berazaskan pancasila. Bagi yang tidak menggunakan azas tersebut,
maka diberikan pilihan untuk mengubah azasnya atau membubarkan diri. Represi pemerintah
untuk melakukan pengaturan dan penyelarasan organisasi ini juga terjadi pada
organisasi berbasis pelajar. Pada awal tahun 90-an pemerintah melalui menteri
pemuda dan olahraga menegaskan hanya mengakui OSIS (Organisasi Siswa Intra
Sekolah) sebagai satu-satunya organisasi pelajar di sekolah. Kemudian
organisasi diluar OSIS dipaksa untuk ‘menyesuaikan diri’. Mengubah nama, atau
membubarkan diri. IPM kemudian berubah menjadi IRM, IPNU dengan P = Pelajar berubah
menjadi IPNU dengan P = Putera. Hanya PII yang menolak mengubah nama dan
memilih untuk berjalan secara underground.
Latar belakang ini kemudian setelah reformasi terjadi, elemen sosial kembali
mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya. Hal ini mendorong lebih
besar keinginan untuk mengembalikan nomenklatur, dan isu ini kemudian menjadi
isu penting karena perubahan yang dulu terjadi dianggap sebuah pemaksaan dan
strategi untuk menjawab kondisi saat itu.
Faktor kedua
yang mendorong kembalinya IRM menjadi IPM adalah anjuran dari PP Muhammadiyah.
Sejak Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 di Malang, PP Muhammadiyah selalu
mendorong IRM untuk kembali menjadi IPM. Salah satu alasan PP Muhammadiyah
menganjurkan perubahan ini adalah penyelarasan gerakan. Bagi Muhammadiyah,
ortom adalah perpanjangan (proxy) dakwah
Muhammadiyah bagi segmen khusus yang tidak mampu secara langsung ditangani oleh
Muhammadiyah. Maka IRM seharusnya fokus untuk menggarap pelajar, IMM untuk
Mahasiswa, Pemuda dan NA untuk pemuda dan pemudi. IPM seyogyanya berkonsentrasi
untuk membantu sekolah dalam pengembangan diri pelajar Muhammadiyah. Anjuran
ini selalu disampaikan PP Muhammadiyah dalam berbagai forum IPM dan bahkan
melalui surat edaran resmi PP Muhammadiyah.
Di internal
organisasi pendapat PP IRM berbeda-beda mengenai pentingnya perubahan
nomenklatur dari IRM ke IPM. Sebagian menyatakan bahwa berubahnya IPM ke IRM
adalah sebuah strategi yang cerdas dan bukan sebagai sebuah ketidakberdayaan
menghadapi desakan pemerintah. Berubahnya IPM menjadi IRM adalah sebuah kesempatan
dan strategi untuk memperluas wilayah kerja, dan kontribusi IPM bagi generasi
muda. Karena dengan menggunakan nomenklatur remaja berarti IPM telah mengambil
segmen yang lebih luas daripada pelajar. Maka ruang gerak IRM lebih luas
daripada IPM, tidak hanya kegiatan di sekolah namun juga untuk menjawab
tantangan dan permasalahan sosial yang terjadi di kalangan remaja. Bagi
sebagian orang kemudian isu perubahan nomenklatur menjadi tidak signifikan.
Karena IRM dirasa lebih inklusif
daripada IPM. IRM adalah penyelamat eksistensi IPM, dan merupakan solusi cerdas
untuk permasalahan remaja yang semakin hari semakin berat. Salah satu
pernyataan yang muncul mengenai hal ini misalnya adalah bagaimana peran ranting
dan cabang IRM non sekolah yang berbasis di masjid dan desa-desa, jika
nomenklatur IRM dikembalikan menjadi IPM?
Sementara
sebagian lain (terutama yang pernah di IPM sebelum perubahan nama berpendapat
bahwa perubahan nama adalah sebuah kecelakaan sejarah dan ketidakberdayaan
ormas saat itu dari desakan pemerintah. Kritikan lainnya adalah karena kata
remaja dianggap kurang ideologis daripada kata pelajar. Hal ini akan berpengaruh
terhadap orientasi organisasi yang kemudian menjadi tidak fokus, karena terlalu
banyak isu yang ingin direspon dan diberikan solusi. Sementara konstituen dan
tugas utama organisasi pelajar untuk melakukan pendampingan dan pemberdayaan di
kalangan pelajar kemudian menjadi tidak berjalan dengan maksimal karena fokus
organisasi yang terbagi ke dalam banyak hal.
Nama adalah
simbol, Perubahan adalah pilihan
Jika diamati
dari budaya dan isu yang dikembangkan dalam masing-masing dekade, perubahan
nama dari IPM ke IRM memang berpengaruh terhadap orientasi dan fokus organisasi
secara keseluruhan. Walau bagaimanapun nama adalah identitas organisasi yang
akan mempengaruhi nilai-nilai dan wacana yang dikembangkan dalam sebuah
organisasi. Nama, seperti juga logo, semboyan, lagu dan pranata lain sebetulnya
merepresentasikan dan akan mempengaruhi nilai-nilai yang dikembangkan dalam
organisasi tersebut. Beberapa hal tersebut adalah sistem penanda (sign system) untuk menunjukkan identitas
dari masing-masing gerakan. Paling tidak ini yang saya amati terjadi di
IPM/IRM.
Jargon yang
sangat terkenal di IPM adalah 3 Tertib, yaitu Tertib Ibadah, Tertib Belajar dan
Tertib Berorganisasi. Jargon ini tentunya merepresentasikan fokus gerakan IPM
saat itu yang sepertinya bertitikberat kepada pengembangan kapasitas pribadi
anggotanya. Dalam hal ini pelajar diposisikan sebagai subjek dan objek dari
gerakan itu sendiri. IPM fokus kepada anggotanya sendiri. Maka tidak heran jika
varian kegiatan yang dilaksanakan oleh IPM mengarah ke arah sana.
Program-program yang dilaksanakan oleh IPM misalnya adalah Korps Ilmiah dan
pengembangan studi di kalangan pelajar. Selain program-program yang sejak
pertama kali didirikan ada, yaitu perkaderan. Karena program terakhir adalah
perwujudan dari alasan utama kenapa IPM didirikan pada tahun 1961 yaitu untuk
membendung ideologi komunis di kalangan pelajar. Namun secara umum ketika
bergerak dalam IPM di awal program fokus dalam pengembangan pelajar dan
pengembangan dirinya.
Tentunya hal
ini berbeda dengan semboyan lain misalnya yang berkembang ketika IPM telah
berganti nama menjadi IRM. Gerakan Pelajar Kritis Transformatif adalah paradigma
gerakan yang dipilih, yang memposisikan pelajar sebagai subyek dan realitas
sosial sebagai objek yang harus digarap dan diberikan intervensi. Ini juga
misalnya yang mendorong IRM untuk ikut andil dalam isu GATK (gerakan aktif
tanpa kekerasan), atau pendirian rumah-rumah singgah di beberapa pojok kota
Jakarta bekerjasama dengan ‘Aisyiyah, juga misal masuknya kurikulum analisis
sosial di dalam sistem perkaderan IRM. Pilihan ini memang memungkinkan IRM
untuk merespon permasalahan sosial yang terjadi di rentang usia kelompoknya
(remaja). Perbincangan tidak lagi sekedar soal intelektualitas, dan ketertiban
untuk menjadi seorang pelajar yang baik, namun melebar menjadi aktifitas
gerakan yang mampu menjawab dan memberi kontribusi terhadap lingkungan sekitar.
Ini adalah nilai yang dikembangkan yang dipengaruhi oleh pilihan-pilihan
tersebut, termasuk pilihan nomenklatur yang dijadikan sebagai nama gerakan.
Gerakan
Pelajar Kritis Transformatif adalah pilihan gerakan yang cerdas dan strategis
yang dipilih oleh IRM. Namun pilihan inipun tidak lepas dari kritik. Salah satu
kritik yang paling kuat adalah apakah IRM dengan basis gerakan pelajar mampu
menjawab ekspektasi yang diharapkan dari gerakan krtitis transformatif ini?
Kritikan lain adalah gap yang terjadi
antara pemikiran yang berat dan profetis ini dengan realitas basis gerakan IPM
di tingkat grass root. Apakah tidak
terlalu berat?
Perubahan nama, sebuah awal
Dan pertanyaan
terbesar yang mesti dijawab oleh semua pihak adalah apa sebetulnya yang paling
signifikan dari isu perubahan nomenklatur ini? Apakah berubahnya IRM kembali ke
IPM sekedar perubahan nama? Apakah perbedaan dari IPM format lama dengan IPM
saat ini atau dengan IRM? Apakah IPM baru ini akan melanjutkan perubahan
paradigma yang sudah dilakukan IRM atau sama sekali baru? Beberapa pertanyaan
ini selalu muncul saat mendiskusikan penting atau tidaknya mengembalikan
nomenklatur IRM menjadi IPM. Dan pertanyaan ini akan merangsang ikatan untuk
terus merefleksikan dan memikirkan ulang orientasi gerakannya.
Sebuah gerakan
terdiri dari berbagai hal yang membangun aktifitasnya, ide dan nilai adalah
dasar yang sangat penting untuk hal itu. Pendefinisian ide dan nilai gerakan
yang jelas dan tuntas akan menjadi petunjuk arah yang sangat penting bagi
tercapainya cita-cita gerakan itu sendiri. Kedua,
adalah struktur dan sistem gerakan. Tanpa struktur yang mencerminkan ide dan
nilai gerakan maka struktur malah akan menjadi masalah dalam pelaksanaannya.
Misalnya jika ide gerakan menjunjung kesetaraan dan keberpihakan maka akan
menjadi masalah jika struktur ataupun aturan yang ada dalam organisasi tidak
mencerminkan hal tersebut atau justru bertolak belakang.
Dalam
manajemen strategis, untuk tercapainya tujuan sebuah gerakan harus melalui
berbagai fase. Dari mulai fase perumusan ide dan gagasan gerakan, pelaksanaan
dan review dari ide tersebut. Dan semua
itu memerlukan strateginya masing-masing. Dan semuanya perlu dirumuskan dan
direncanakan secara seksama. Salah satu kelemahan dari IPM adalah sangat serius
dalam perumusan ide gerakan namun terkadang lemah dalam pelaksaannya. Hal ini
tidak terlepas dari lemahnya institusionalisasi
ide dan gagasan yang berkembang dalam gerakan. Ide Gerakan Kritis
Transformatif yang sudah muncul dan ditetapkan sejak tahun 2000, namun proses
diseminasi dan institusionalisasi dari ide tersebut tidak berjalan dengan baik.
Salah satu institusi yang paling strategis untuk melakukan diseminasi ide
Gerakan Kritis Transformatif adalah melalui sistem perkaderan (SPI), dan
kegiatan yang dapat melakukan itu adalah TM dari TM1-TMU dan pelatihan
fasilitator. Sehingga ini bisa dijadikan indikator tersebar atau tidaknya ide
gerakan tersebut dalam seluruh anggota gerakan. Namun ini terjadi dengan tidak
maksimal dalam pelaksanaannya. Pelatihan Fasilitator Nasional hingga tahun 2011
ini baru diadakan dua kali, yaitu pada tahun 2003 dan 2008. Maka tidak heran
jika Pimpinan Pusat hingga saat ini sering kewalahan untuk memenuhi permintaan
fasilitator untuk pelatihan di tingkat provinsi, karena jumlah fasilitator yang
kurang. Di lain pihak ide gerakan kritis transformatif akhirnya menjadi
konsumsi sebagian elit organisasi tapi tidak menjadi pemahaman yang massif
setiap anggota. Padahal betapa dahsyat bila pemahaman ini menjadi pegangan
setiap anggota dan mampu melaksanakannya dalam tatanan kehidupan sehari-hari.
Selain
melakukan institusionalisasi gerakan juga perlu melakukan perubahan secara
komprehensif. Konsep yang brilian tidak akan berhasil tanpa melakukan aktifitas
dan follow up yang konsisten dan
sesuai dengan idenya. Dalam IPM/IRM banyak sekali buku panduan yang telah
dihasilkan, namun terkadang buku tersebut hanya stuck menjadi kebanggaan di tingkat wilayah dan daerah namun belum
mampu terlaksana dengan massif di
tataran grass root. Maka sebetulnya
dalam IPM jika gerakan kritis transformatif ini ingin menjadi massif dan benar-benar menjadi gerakan
yang dapat menjadi ruh kegiatan IPM dari Ranting hingga pusat, seharusnya
pelatihan fasilitator dan proses perkaderan menjadi program utama yang harus
dilakukan.
Hal lain yang
perlu diperhatikan oleh IPM adalah grand
strategi yang jarang dijadikan acuan untuk pengembangan organisasi. Ini mungkin
kelemahan yang juga sering terjadi di negara kita. Setiap pemimpin dalam setiap
periode terkadang terjebak untuk menunjukkan pencapaian dan legacynya regardless terhadap pembacaan yang telah dilakukan generasi
sebelumnya. Bukan berarti tidak ada grand
strategi, atau rencana pencapaian jangka panjang, karena jika kita lihat dalam
keputusan dan rumusan materi di setiap Muktamar selalu ada pencapaian yang
diharapkan dalam satu periode ke periode lainnya. Namun yang masih minim adalah
bagaimana menerjemahkan target pencapaian tersebut ke dalam program kerja yang
fokus, terukur, dapat dilakukan dan tergambar dalam waktu yang sangat sempit.
Satu
kepempimpinan muktamar yang hanya 2 tahun, sebetulnya periode efektif untuk bekerja dan mendelivery issu muktamar hanyalah 15
bulan. Sisanya dilakukan untuk melakukan konsolidasi, mengadakan acara
musyawarah tahunan rutin dan kunjungan ke wilayah dan kegiatan lainnya.
Sementara bidang yang harus dikerjakan adalah 9 bidang, dengan berbagai
kegiatan yang mesti dilakukan. Anda bisa bayangkan waktu seperti itu untuk
melaksanakan banyak sekali program kerja. Belum lagi sumber dana yang tersedia
sangat minim. Maka tidak heran apabila hal ini memaksa pimpinan untuk
terpenjara dengan hal teknis namun terlupa dari hal–hal yang bersifat strategis
dari pencapaian organisasi.
Maka perubahan
nama, adalah sebuah awal untuk melakukan perubahan yang menyeluruh dari wajah
gerakan. Dan ini tentu tidak mudah dan tidak bisa dilaksanakan dalam jangka
waktu pendek. Perubahan yang menyeluruh harus meliputi perubahan ide diikuti
oleh perubahan struktur dan ide gerakan, yang kemudian akan menumbuhkan budaya dan
nilai organisasi yang aktual dalam praktek berorganisasi sesuai dengan yang
dicita-citakan.
Agenda Terserak
Setelah
perubahan nama, perubahan lain tentunya perlu diikuti agar perubahan ini
memberikan perubahan yang sangat signifikan bagi gerakan. Hal ini penting agar
perubahan bisa dilakukan dengan lebih cepat sehingga selalu sesuai dengan
tantangan yang sedang dihadapi. Jika tidak maka gerakan akan tertatih dan
ditinggalkan oleh gerakan pelajar lain yang lebih muda dan baru, meskipun
mungkin tidak memiliki filosofi yang kuat seperti yang dimiliki oleh IPM. Dalam
persaingan menghadapi kompetitor-kompetitor inilah IPM harus bisa terus
berinovasi untuk mengemas pola dan program gerakannya agar sesuai dengan
tuntutan dan tantangan zaman serta kebutuhan dari konstituen utama IPM itu
sendiri yaitu pelajar dan Muhammadiyah. Gagasan dan paradigma yang bagus saja
tidak cukup namun harus diikuti dengan strategi pelaksanaan yang sesuai dengan
karakteristik dari konstituen/kostumer
IPM yaitu pelajar. Seperti di pasar siapa yang paling bisa memenuhi kebutuhan
pasar dan memberikan nilai tambah dan sesuai dengan kebutuhan konsumen maka ia
akan mendapatkan tempat di hati konstituen sendiri.
Maka menurut
saya ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh IPM agar tetap bisa terus
menjawab kebutuhan pelajar, terutama terkait dengan perubahan nomenklatur ini:
Pertama,
menegaskan paradigma gerakan yang telah dipilih. Sampai saat ini Gerakan Kritis
Transformatif masih merupakan dasar gerakan IPM yang bagi saya khas dibanding
gerakan pelajar yang lainnya. Namun pilihan ini kurang terlembagakan dengan
baik dan tersosialisasikan dengan massif
kepada seluruh aktifis gerakan. Pemahaman mengenai kesadaran kritis seharusnya
menjadi pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap kader IPM di manapun.
Dan ini lebih memungkinkan saat ini dengan adanya teknologi internet dan situs
jejaring sosial. Wacana-wacana yang beredar di tingkat pusat dan wilayah bisa
dengan mudah sampai kepada kader IPM di manapun, dengan cepat murah dan mudah.
Namun perlu diperhatikan bahwa hal–hal yang detail pun bisa menjadi masalah.
Misalnya gagasan yang besar dan rumit sekalipun harus coba disampaikan dengan
bahasa yang sangat sederhana. Ingat konstituen IPM yang utama adalah mereka
yang masih ada di sekolah menengah baik di SMP dan SMA sederajat. Sehingga
penyajian gagasan harus dilakukan untuk bisa ditangkap oleh kelompok usia dalam
rentang itu. Gerakan pelajar kreatif yang diketengahkan sekarang sejatinya
adalah upaya untuk melakukan penyederhanaan dan kontekstualisasi gerakan
pelajar kritis sesuai dengan kreatifitas pelajar yang menjadi basis utama
gerakan IPM. Gagasan besar yang disampaikan dengan bahasa sederhana dan dalam
bentuk yang kreatif sesuai dengan kondisi psikologis dan karakter basis gerakan
IPM itu sendiri.
Hal ini juga
harus didukung dengan penegasan dan penyesuaian pimpinan dengan basis gerakan.
Dalam beberapa forum dengan organisasi pelajar lain baik di dalam maupun luar
negeri, kita selalu dapat membanggakan ketika organisasi ini memiliki jaringan
yang begitu luas, anggota yang banyak pencapaian lainnya. Namun terkadang agak
sulit untuk menjelaskan ketika organisasi pelajar yang pimpinannya rata-rata
mahasiswa dari sejak tingkat kabupaten/kotamadya. Alam pikiran, kematangan
psikologis dan wawasan mahasiswa tentu berbeda dengan pelajar sekolah menengah.
Hal ini tentu akan menimbulkan gap
yang cukup luas antara pimpinan dengan anggota. Selama ini pengemasan dan
perumusan ide gerakan selalu menemui kendala karena kesulitan implementasi di
lapangan. Apakah konsep terlalu rumit atau terlalu berat, yang akhirnya sulit
untuk di mengerti di tingkat grass root
dan menjadi tidak applicable. Salah
satu ide yang muncul pada perumusan materi muktamar tahun 2010 tentang
pembatasan usia pimpinan di tingkat PD untuk hanya seusia SMA saya pikir adalah
ide yang cukup penting dalam konteks ini.
Kedua, melakukan
penyederhanaan organisasi. Dengan waktu efektif yang hanya satu tahun lebih
beberapa bulan (15 bulan) maka akan sangat berat untuk melaksanakan seluruh kegiatan
bidang dalam waktu yang sempit. Disisi lain ini akan berpengaruh terhadap
konsentrasi organisasi, karena banyak agenda namun waktu yang sempit, dan
akhirnya pimpinan hanya akan terpaku untuk berpikir masalah-masalah teknis.
Misalnya pendanaan kegiatan dan hal teknis yang lain. Ini mungkin terkesan sangat
teknis sekali namun, dalam jangka panjang akan sangat berpengaruh. Devil is in detail, terkadang hal-hal
kecil yang terlalu menyita waktu akan mengganggu pencapaian hal besar yang
strategis. Karena itu perampingan organisasi akan sangat penting dilakukan.
Fungsi-fungsi teknis yang lebih fokus ke issu
bisa diserahkan kepada lembaga-lembaga pembantu pimpinan yang bisa berkreasi
untuk menggawangi satu issu khusus.
Pola yang
pernah diterapkan pada masa M. Izzul Muslimin dengan mengembangkan beberapa
lembaga seperti LaPSI, ALIFAH dan lembaga lainnya perlu dipertimbangkan ulang.
Memang keberadaan lembaga tidak pernah benar-benar vakum dari IPM misalnya
Kuntum selalu eksis dari sejak berdiri hingga sekarang, namun lembaga lain
datang dan pergi, muncul dan tenggelam. Terkadang keberadaannya membantu
terkadang juga membebani namun keberadaan lembaga semestinya lebih
diprioritaskan sebagai strategi implementasi dari arah gerakan yang ingin
dicapai. Dengan begitu maka pimpinan bisa fokus terhadap konsolidasi organisasi
dan hal-hal lain yang lebih umum dan strategis.
Ketiga,
melakukan inovasi dan kreasi dengan memaksimalkan multi media. Keberadaan
website IPM selama ini terkadang tidak menjadi prioritas. Padahal dalam era
sekarang keberadaan media interaktif yang bisa menjangkau sebanyak-banyaknya
konstituen dan memiliki ruang lingkup yang sangat luas adalah maha penting.
Terlebih lagi, generasi yang diampu oleh IPM saat ini adalah generasi Y.
Generasi dimana penggunaan teknologi begitu dominan, IT savvy, dan ruang-ruang
begitu sempit karena telah dipampatkan oleh internet dan website. Maka
pemanfaatan teknologi ini pelu menjadi bagian dari strategi untuk menggerakkan
dan menyampaikan gagasan-gagasan dari organisasi. Internet menjadi media
informasi dan komunikasi yang penting.
Keempat, sinkronisasi
dan merevitalisasi hubungan dengan stakeholder
IPM yang lain selain anggota, dalam hal ini Dikdasmen, sekolah dan
Muhammadiyah. Muhammadiyah telah memiliki visi Muhammadiyah 2025 yang akan
menjadi grandstrategy Muhammadiyah
selama seperempat abad yang akan datang. Visi ini menjadi bingkai gerakan
persyarikatan secara keseluruhan dan menjadi petunjuk arah, kompas gerakan ini
di masa yang akan datang. IPM sebagai salah satu bagian dari sistem ini semestinya
melakukan sinkronisasi dan kontekstualisasi peran dan gerakannya dalam bingkai
visi Muhammadiyah 2025. Peran IPM dalam sistem persyarikatan Muhammadiyah tentu
sangat penting dan karenanya harus mendapatkan perhatian dan dukungan yang
signifikasn untuk mencapai visi tersebut. Muktamar satu ke yang lain tidak
berdiri sendiri, namun merupakan satu kesatuan gagasan dan proses perjalanan
organisasi menuju cita-citanya.
50 tahun
adalah usia emas dan perjalanan sebuah organisasi adalah laksana sebuah kurva,
dari kurva lembah menuju puncak. Mungkin di usia 50 IPM sudah pernah menyentuh
kurva tertingginya, dan bisa jadi sekarang sedang menurun dan melandai menuju
kurva yang mengarah ke bawah. Maka rethink,
revitalize adalah sebuah siklus perjalanan sebuah gerakan agar tertap
eksis, kontekstual dan mampu menjawab tantangan zaman.
Semoga Ikatan ini tidak pernah puas dengan pencapaiannya, sehingga selalu
berpikir, berkreasi, berinovasi dan tetap kritis, progresif dan transformatif. Wallahu a’lam.
*) Penulis adalah Deni Wahyudi Kurniawan, lahir di Garut, 3 Desember
1983. Pertama kali aktif di PR IRM Darul Arqam, tahun 1997-1999. Terpilih sebagai Ketua Umum PP IPM 2008 – 2010. Saat ini bekerja sebagai Program Development
Officer untuk Indonesia Institute for Social Deveopment (IISD) terutama untuk
program pengendalian tembakau.